Page 144 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 OKTOBER 2020
P. 144
Perizinan berusaha selalu berbasis risiko. Semakin sedikit persyaratannya, semakin rendah
risikonya. Persoalan tumpang-tindih peraturan, pungli, pemerasan, politisasi perizinan, dan
berbagai masalah dalam hal perizinan, diharapkan bisa hilang dengan pengaturan demikian.
UU Ciptaker memastikan bahwa investasi tidak hanya dinikmati usaha-usaha besar, tetapi juga
UMKM dan koperasi. Demikian halnya dengan kemudahan usaha bagi sektor riil dan sektor
kerakyatan.
Dalam persoalan agraria, UU Ciptaker juga telah menghilangkan ancaman pidana bagi
masyarakat yang tinggal turun-temurun dalam kawasan hutan dan beberapa ketentuan yang
mempertimbangkan hak masyarakat adat. Klausul ini setidaknya telah meminimalisasi konfl ik
agraria dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang kerap terjadi di banyak wilayah.
Lewat one map policy (OMP), UU ini telah membangun kepastian hukum terkait dengan
penggunaan hutan oleh masyarakat. Wujudnya ialah adanya pengaturan tentang perhutanan
sosial, berkenaan dengan status kawasan yang telah terlanjut didiami turun-menurun.
Di sektor teknologi informasi, terus tertundanya digitalisasi siaran di Tanah Air, membuat
penikmatan terhadap digital dividen terus tertunda. Pengembangan usaha digital dari sisi konten
ataupun penyelenggara siaran terhambat. Kabar baik pun datang. UU Ciptaker telah memastikan
analog switch off (ASO) segera dilakukan, paling lambat dua tahun setelah UU ini diundangkan.
MI/Seno Ilustrasi MI Pendidikan, pers, dan tenaga kerja tetap terjaga Adapun terkait dengan isu
paling sensitif, yakni ketenagakerjaan. Sejak awal, klaster ini telah didesak untuk dikeluarkan
dari RUU Cipta Kerja. Dalam prosesnya, ada tuntutan yang sepenuhnya bisa diterima dalam
rapat, ada yang disepakati dengan penyesuaian. Namun, ada juga yang harus direlakan untuk
mengikuti rancangan awal.
Sekadar contoh, pasal hak cuti haid, menikah, melahirkan, keguguran, misalnya, berhasil
dipertahankan sesuai UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003. Demikian juga ketentuan tentang
penggunaan tenaga kerja asing untuk melindungi tenaga kerja Indonesia. Demikian juga dengan
sanksi ketenagakerjaan, upah minimum padat karya, dan penyesuaian aturan tenaga alih daya
sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
Berkenaan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), upaya keras telah dilakukan untuk
mempertahankan ketentuan sesuai UUK No 13 Tahun 2003. Namun, dalam perjalanannya, ia
harus dikompromikan dengan permintaan agar jangka waktu diatur berdasarkan peraturan
pemerintah.
Dengan sangat menyesal, ketentuan UUK 13/2003 berkenaan dengan jumlah pesangon tidak
dapat dipertahankan. Pemerintah meminta agar ketentuan 32 kali diubah menjadi 25 kali dan
memperoleh dukungan argumentasi dari fraksi lainnya. Demikian juga dengan upah minimum
sektoral yang harus menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi saat ini dinilai menghambat
investasi dan usaha.
Dalam soal pers dan pendidikan, berulang-ulang telah didesak agar soal ini dikeluarkan dari RUU
Cipta Kerja. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa nilai-nilai kependidikan tidak boleh berubah
menjadi bisnis semata dan pers pun tidak boleh menjadi medan pertarungan investasi yang
brutal.
Proses pembahasan Sejak mula pembahasan, DPR mengundang bukan hanya ahli atau pakar
dalam setiap proses pembahasan, melainkan beragam organisasi masyarakat sipil dengan
konsentrasi advokasi yang spesifi k pun turut diundang. Organisasi seperti serikat pekerja, serikat
profesi, dan organisasi sejenis turut dilibatkan.
143