Page 142 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 OKTOBER 2020
P. 142

AJI KRITIK LANGKAH PENGESAHAN UU CIPTAKER OLEH DPR-PEMERINTAH

              Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengkritik langkah DPR dan pemerintah
              yang terus membahas hingga mengesahkan omnibus law UU Cipta Kerja (Ciptaker).

              Padahal, pembuatan beleid tersebut mendapatkan kritik luas dari masyarakat hingga muncul
              gelombang aksi, terutama dalam tiga hari terakhir. Terkait hal tersebut, AJI pun menilai ini bukan
              kali pertama lembaga pembuat undang-undang mengabaikan desakan rakyat.

              Ia pun menyinggung revisi UU KPK yang telah disahkan tahun lalu. Pada tahun lalu, revisi UU
              KPK yang juga dibarengi rencana pengesahan RKUHP dan RUU kontroversial lain mendapatkan
              resistensi luar biasa dari rakyat di seluruh Indonesia. "Dua kali setidaknya terjadi di rezim ini dan
              didukung partai pendukungnya: PDIP, PKB, NasDem, dan kawan-kawan. Mereka menunjukkan
              secara terbuka, partai-partai ini mengabaikan aspirasi rakyat," ujar Ketua AJI Indonesia Abdul
              Manan melalui demo virtual, Kamis (8/10).

              "Rezim ini hanya akan dikenang sebagai pemerintahan yang meninggalkan jalan baru, jalan tol
              baru, proyek-proyek baru, tapi merusak warisan yang sudah diberikan reformasi," lanjut Abdul.

              Menurutnya hal tersebut menjadi bukti kemunduran perlindungan dan keberpihakan pemerintah
              kepada masyarakat, khususnya bagi pekerja dalam UU Ciptaker.

              Menurutnya  hal  ini  jauh  bertentangan  dengan  sikap  Jokowi  dan  partai pendukungnya ketika
              pemilihan umum (pemilu) lalu.
              "Jelang pemilu saja mengemis dukungan. Tapi situasi seperti ini mereka bisa katakan forget it
              dengan  aspirasi  publik.  Ini  terjadi  dua  kali,  dan  akan  terjadi  lagi  sampai  mungkin  rezim  ini
              berganti," katanya.

              Beberapa  poin  pada  UU  Cipta  Kerja  yang  pihaknya  kritisi  adalah  terkait  perjanjian  kerja,
              pengupahan,  sampai  pemutusan  hubungan  kerja  (PHK)  yang  ditentukan  berdasarkan
              kesepakatan antara pengusaha dengan serikat pekerja.

              Khusus serikat, ia mengatakan itu menjadi masalah pula bagi pekerja media. Ia mengatakan
              tidak banyak media massa yang memiliki serikat pekerja.

              "Padahal kita tahu jumlah serikat media kita itu sangat rendah. Ya, kalau menurut data federasi
              kurang dari 30 media yang punya serikat pekerja," ujar Abdul.

              Sehingga pada akhirnya, pekerja harus mewakili diri sendiri ketika berunding dengan pengusaha.
              Menurutnya  ini  bisa  berpotensi  menghasilkan  perjanjian  yang  justru  merugikan  hak  pekerja.
              Misalnya  pada  perundingan  jumlah  cuti.  Ia  menyebut  pengusaha  tentu  akan  merundingkan
              jumlah cuti seminimum mungkin, untuk memastikan produktivitas pekerja maksimal.

              Tanpa  berserikat,  kata  dia,  pekerja  tidak  akan  memiliki  kekuatan  yang  seimbang  dengan
              pengusaha  untuk  membela  haknya.  "Karena  kita  tahu  ketika  pekerja  berhadapan  dengan
              pengusaha, tidak dalam posisi yang equal. Bahkan kalaupun ada serikat pekerja, belum tentu
              equal," lanjutnya.

              Sedangkan  di  lingkup  pekerja  media,  ia  menilai  pemerintah  juga  jarang  memastikan  jika
              pengusaha  mematuhi  ketentuan  pada  UU  Ketenagakerjaan.  Seperti  memastikan  upah  yang
              diterima sesuai Upah Minimum Provinsi atau Regional, sampai pemenuhan hak cuti.

              (fey/kid).

                Judul               Yang Sayang Dilewatkan dari UU Cipta Kerja


                                                           141
   137   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147