Page 32 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 DESEMBER 2020
P. 32
terhadap pelaku pelanggaran penggunaan masker di tempat-tempat umum dan kewajiban
karantina 14 hari bagi pendatang.
Ditemukannya kasus positif pada para PMI berdasarkan tes usap setibanya di Bandara Taiwan
itu lebih mengindikasikan pada sebuah kelalaian.
Kelalaian? Ya, karena memang tes usap dengan metode PCR atau pemeriksaan laboratorium
untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus sebelum seseorang
bepergian ke luar negeri itu kewajibannya bersifat mutlak, bukan sekadar formalitas belaka.
Sekadar gambaran, untuk seseorang, siapa pun dia dan apa pun jabatannya, wajib tes usap 48
jam sebelum terbang ke China. Aturan tersebut berubah makin ketat karena sebelumnya sampai
lima hari, kemudian 72 jam, dan terakhir 48 jam.
Sesampainya di bandara tujuan di China, siapa pun yang baru datang dari negara lain wajib tes
usap lagi. Bukan tidak percaya dengan hasil tes usap yang sudah dilakukan di Indonesia atau di
negara lain, akan tetapi seseorang bisa saja tertular COVID-19 setelah menjalani tes atau
beberapa jam sebelum terbang atau bisa juga selama dalam penerbangan. Tes usap di bandara
tujuan tersebut juga diterapkan di Taiwan sebagai upaya melindungi warganya dari kasus impor
seperti itu.
Inilah yang dimaksud sebagai kewajiban mutlak bagi para pelancong, termasuk PMI, bukan
sekadar formalitas hitam di atas putih. Oleh sebab itu, protokol kesehatan harus dijalankan
dengan penuh disiplin tanpa toleransi sedikit pun.
Mengabaikan protokol kesehatan sangat berisiko dan berdampak negatif karena
mempertaruhkan reputasi sebagai penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan kepada
sekelompok masyarakat yang hanya bisa menafkahi keluarganya di tengah kesulitan ekonomi
saat pandemi seperti sekarang dengan mengadu nasib di negeri seberang.
Penolakan Taiwan terhadap PMI, meskipun hanya berlangsung sementara selama dua pekan
hingga 17 Desember, tidak hanya berdampak pada angka 20 atau 28 PMI yang positif saja atau
mungkin 939 PMI yang saat ini sedang menjalani karantina di Taiwan.
Ada 1.350 orang calon PMI yang gagal berangkat dan bekerja ke Taiwan akibat kebijakan yang
mulai berlaku per 4 Desember 2020 itu.
Saat ini gaji pokok bulanan PMI Taiwan sektor informal sebesar 17.000 NTD (Rp8,5 juta) dan
formal 23.800 NT (Rp11,9 juta) dipotong fee agensi dan asuransi sebesar 1.500 NTD (Rp752
ribu).
Kalau seorang PMI bisa menghasilkan 15.000 NTD saja lalu dikalikan 1.350 orang calon PMI
yang gagal berangkat, maka sudah 20.250.000 NTD atau sekitar Rp10,15 miliar devisa negara
yang melayang hanya gara-gara keteledoran prosedur.
Itu baru angka minimal yang dihasilkan dari keringat PMI sektor informal, seperti pembantu
rumah tangga dan pengasuh orang tua. Belum pada sektor formal yang pangsanya 40 persen
dari keseluruhan PMI di Taiwan.
Berhenti Menyalahkan Tingginya kasus COVID-19 di Indonesia dalam beberapa hari terakhir
ditambah lagi kasus positif pada 28 orang PMI yang baru tiba di Taiwan merupakan salah satu
faktor pemicu penangguhan tersebut.
Ada satu faktor lainnya yang tak kalah pentingnya dibandingkan COVID-19 adalah tidak
ditanggapinya permintaan otoritas Taiwan secara tertulis pada 26 Agustus 2020 kepada Badan
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MPI) agar mengklarifikasi pernyataan tentang PMI
31