Page 33 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 DESEMBER 2020
P. 33

tidak  boleh  dibebani  dengan  biaya  penempatan  yang  mencakup  tiket  keberangkatan-
              kepulangan, visa kerja, legalisasi perjanjian kerja, sertifikat kompetensi kerja, jasa perusahaan,
              penggantian paspor, dan lain-lain.

              Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan (MOL) merasa perlu diajak bicara mengenai hal itu karena
              menyangkut warganya yang mempekerjakan lebih 250 ribu orang PMI.

              Namun cinta ternyata bertepuk sebelah tangan. Entah karena prinsip One China Policy atau ada
              alasan lain, surat tersebut tak berbalas.

              Ujung-ujungnya Taiwan mempersiapkan berbagai langkah, di antaranya mencari pekerja migran
              dari negara lain.

              Rupanya langkah MOL tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari parlemen setempat setelah
              Menteri Ketenagakerjaan Taiwan Hsu Mingcun bertemu dengan Komisi Kesehatan Lingkungan
              dan  Kesejahteraan  Sosial  Legislatif  Yuan  atau  semacam  DPR-nya  Taiwan  di  Taipei  pada  2
              Desember.

              Sedang berusaha merekrut pekerja migran dari Asia Tenggara yang belum pernah mengirimkan
              tenaga kerja ke sini, demikian pernyataan Hsu tanpa menyebutkan nama negara calon mitra
              barunya yang akan menandatangani MoU pada 2021 itu.

              Kebijakan terbaru Taiwan ini tentu dampaknya luar biasa bagi Indonesia yang bisa diuraikan
              sebagai berikut.
              Pertama, kepercayaan Taiwan terhadap Indonesia sudah mulai berkurang. Bukan saja terkait
              COVID-19, melainkan juga kebijakan pembebasan biaya penempatan yang dianggap sepihak
              oleh Taiwan. Hal itu juga dapat menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan para majikan
              yang mempekerjakan PMI baru.
              Kedua, posisi Indonesia sebagai pemasok terbesar pekerja migran di Taiwan terancam. Hingga
              Oktober 2020, Taiwan mempekerjakan 264.984 orang PMI atau 37,79 persen. Disusul Vietnam,
              Filipina, dan Thailand yang masing-masing hanya 32,58 persen, 21,54 persen, dan 8,09 persen.

              Ketiga,  berkurangnya  penerimaan  devisa  dari  para  PMI  di  Taiwan.  Hal  ini  tentu  makin
              menyulitkan  upaya  pemerintah  dalam  memulihkan  ekonomi  nasional,  apalagi  data  Bank
              Indonesia menunjukkan bahwa remitansi PMI hingga semester pertama tahun 2020 hanya 4,8
              miliar dolar AS, menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 yang mencapai
              5,7 miliar dolar AS.

              Dan  keempat,  menciptakan  pengangguran  baru  dan  menambah  angka  kemiskinan  karena
              kebanyakan PMI berasal dari daerah-daerah nonproduktif di selatan Pulau Jawa. Bahkan, untuk
              menyambung hidup, mereka harus bekerja ke luar negeri, termasuk Taiwan yang permintaan
              pekerja migrannya dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan sebelum penangguhan terdapat
              rata-rata 677 orang PMI masuk ke Taiwan.

              Namun, kebijakan penangguhan tersebut bukan akhir dari segalanya, meskipun baru terjadi
              yang pertama kalinya dalam kurun hampir dua dasawarsa terakhir. Pemangku kepentingan di
              Indonesia setidaknya harus memperhatikan beberapa hal sehingga mampu melewati krisis ini.

              Pertama, koordinasi antara Kementerian Tenaga Kerja RI dan BP2MI harus segera ditingkatkan
              agar tanggung jawab dan kebijakan terkait pengiriman, penempatan, dan perlindungan PMI
              tidak saling tumpang-tindih.

              Kedua, memperkuat pengawasan terhadap pola pelatihan, pembinaan, prosedur pengiriman,
              dan  penempatan  calon  PMI  oleh  P3MI  agar  lebih  terarah  dan  prosedural.  Pengawasan  ini

                                                           32
   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38