Page 216 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 NOVEMBER 2020
P. 216
di perusahaan tersebut dengan upah/gaji Rp 10 juta per bulan. Namun karena ada pandemi
Covid-19 dan untuk menghindari pemutusan hubungan kerja, pemberi kerja mengurangi upah
per bulan merata menjadi Rp 2 juta untuk semua level manajemen terhitung mulai April 2020
dan Juni 2020.
A meninggal dunia ketika sedang bekerja. Keluarganya pun mengurus santunan ke BPJS
Ketenagakerjaan setempat dan ketika santunan diterima ahli waris, mereka terkejut karena
jumlahnya tidak sesuai dengan peraturan yang ada, khususnya pada kalimat "perkalian upah
sebulan". Yang diperhitungkan oleh BPJS Ketenagakerjaan sebagai upah bukan upah sebulan
yang sudah berjalan selama 8 tahun sebesar Rp 10 juta, tetapi upah bulan terakhir saat A wafat
yaitu Rp juta. Meskipun alasan penurunan ini sudah disampaikan pemberi kerja kepada BPJS
Ketenagakerjaan setempat.
Perhitungan JKK yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan mengabaikan peraturan yang
berlaku. Seharusnya perhitungannya sebagai berikut : 60% x 80 x Rp 10 juta (upah per bulan
kondisi normal) = Rp. 480 juta; bukan 60% X 80 X Rp juta (upah sebulan terakhir saat ada
Covid-19) = Rp 96 juta. Jadi uang peserta yang hilang ditelan BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp
384 juta. Bukan jumlah yang sedikit untuk ahli waris. Artinya BPJS Ketenagakerjaan bukan
membantu peserta, tetapi merampas hak ahli waris. Betapa besarnya uang yang raib atau tidak
sampai ke ahli waris kalau yang wafat jumlahnya, misalnya 10 pekerja per hari.
Berdasarkan Lampiran A. 2. d. PP No. 82 Tahun 2019, tercantum "upah sebulan", bukan "upah
sebulan terakhir", atau "upah sebulan pada saat terjadi kecelakaan kerja" yang berakhir pada
kematian. Ketidakjelasan ini harus segera dapat diklarifikasi oleh manajemen BPJS
Ketenagakerjaan.
Dalam contoh kasus di atas bagaimana tanggung jawab BPJS Ketenagakerjaan terhadap uang
iuran yang selama delapan tahun dibayarkan penuh? Ke mana raibnya dana yang sudah
disetorkan oleh perusahaan dan peserta selama almarhum menjadi peserta BPJS
Ketenagakerjaan? Menurut saya ini sebuah cidera janji yang serius.
Untuk diketahui bahwa berdasarkan Kepres No. 12 Tahun 2020, Indonesia masuk ke situasi
bencana nasional. Sehingga permohonan pemberi kerja untuk mengurangi upah supaya tidak
terjadi PHK dan perusahaan dapat bertahan sudah mematuhi perintah Kepres tersebut, tetapi
mengapa BPJS Ketenagakerjaan mengabaikan rumus yang disampaikan oleh PP No. 82 Tahun
2019? Langkah Pemerintah Kalau benar BPJS Ketenagakerjaan melakukan perhitungan tidak
sesuai dengan Lampiran III A. 2. d. PP No. 82 Tahun 2019, patut diduga BPJS Ketenagakerjaan
melakukan cidera janji mengarah pada tindakan pidana yang merugikan ahli waris. Untuk itu
mohon KPK, Bareskrim, dan Kejaksaan memanggil Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk dimintai
keterangan tentang dasar perhitungan JKK dan JKM yang tidak sesuai Lampiran III A. 2. d. PP
No. 82 Tahun 2019 tersebut --kecuali ada peraturan perundangan lain di mana faktor pengalinya
bukan upah per bulan, tetapi upah "sebulan terakhir".
Selain itu Menko Perekonomian bersama Menteri Tenaga Kerja, Menteri Keuangan, dan
Ombudsman Republik Indonesia juga harus memanggil Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk
dapat menjelaskan persoalan di atas.
Saya juga mohon kepada Komisi IX DPR untuk dapat segera memanggil Menteri Tenaga Kerja
dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk menjelaskan persoalan yang patut diduga merugikan
215