Page 215 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 NOVEMBER 2020
P. 215

Dasar hukum BPJS Ketenagakerjaan adalah UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan
              Sosial Nasional, UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Tenaga Kerja yang mulai
              beroperasi 1 Juli 2015, dan PP No. 82 Tahun 2019 yang merupakan revisi dari PP No. 44 Tahun
              2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian
              (JKM). Peraturan perundangan tentang BPJS Ketenagakerjaan terlihat sempurna, namun pada
              kenyataannya tidak demikian.


              Dalam PP No. 82 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program JKK dan JKM diatur manfaat
              apa  saja  yang  dapat  diterima  oleh  peserta  BPJS  Ketenagakerjaan  jika  peserta  misalnya
              meninggal dunia. Salah satunya diatur dalam Pasal 25 mengenai santunan kematian dan biaya
              pemakaman serta beasiswa untuk anak peserta, paling banyak dua orang yang diberikan secara
              berkala setiap tahun, sesuai dengan tingkat pendidikan anak peserta.

              Dalam  tulisan  kali  ini  saya  hanya  akan  menyoroti  soal  santunan  JKK  dan  JKM.  Sedangkan
              masalah bea siswa untuk dua anak peserta usia sekolah hingga perguruan tinggi akan saya
              bahas pada tulisan berikutnya.

              Persoalan Perhitungan Dalam tulisan kali ini, saya akan bahas bagaimana JKK dihitung ketika
              peserta meninggal dunia dan ahli waris mengurusnya. Apa dasar hitungannya khususnya dalam
              situasi pandemi seperti sekarang ini, ketika banyak perusahaan mengalami kesulitan membayar
              iuran sebagai pemberi kerja.

              Ketika peserta meninggal, santunan yang diterima oleh ahli waris ternyata bermasalah atau tidak
              sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan ketika disampaikan ke pihak
              BPJS Ketenagakerjaan semua pejabatnya berlindung dengan kalimat "itu sudah by system ".
              Artinya tidak ada ruang untuk komplain bagi ahli waris ketika muncul persoalan atau dispute.

              Jika hal seperti ini dibiarkan, maka kerugian peserta BPJS Ketenagakerjaan akan sangat besar
              secara finansial karena uang yang iuran selama masa kerja tidak kembali secara utuh ke keluarga
              yang  ditinggalkan.  Artinya  komunikasi  dengan  BPJS  Ketenagakerjaan  pun  tertutup  bagi  ahli
              waris, hanya dengan kalimat "itu sudah by system ".

              Manfaat JKM diatur pada Pasal 34 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2019. Manfaat JKM diberikan apabila
              peserta meninggal dunia dalam masa aktif. Santunan yang didapat ahli waris terdiri atas: (1)
              Santunan sekaligus Rp 20 juta diberikan kepada ahli waris peserta. (2) Santunan berkala yang
              dibayarkan  sekaligus  sebesar  Rp  12  juta  diberikan  kepada  ahli  waris  peserta.  (3)  Biaya
              pemakaman sebesar Rp 10 juta diberikan kepada ahli waris peserta. (4) Beasiswa pendidikan
              bagi anak dari peserta yang telah memiliki masa iur paling singkat tiga tahun dan meninggal
              dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja.


              Adapun santunan JKK diatur dalam Lampiran III A. 2. d. PP No. 82 Tahun 2019 ditentukan
              berdasarkan rumus: 60% x 80 x upah sebulan, paling sedikit sebesar manfaat JKM.

              Inti persoalan muncul ketika sampai pada perhitungan karena rumus di atas menjadi tidak jelas,
              menyesatkan, dan merugikan ahli waris peserta yang meninggal dunia.

              Sebagai  contoh  nyata,  A  seorang  pekerja  sektor  pariwisata  yang  menjadi  peserta  BPJS
              Ketenagakerjaan wafat saat sedang bekerja sekitar Juni 2020 dan ketika ahli waris mengurus
              JKK perhitungannya tidak sesuai dengan rumus di atas. A sudah bekerja selama delapan tahun

                                                           214
   210   211   212   213   214   215   216   217   218   219   220