Page 6 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 10 JUNI 2021
P. 6
JKP, antara cita-cita luhur sebagai solusi pekerja ter-PHK dan persoalannya Menurut Willy,
program JKP seharusnya bisa menjadi solusi dan meningkatkan taraf kesejahteraan pekerja atau
buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Kalau secara konsep dan idealnya, JKP bisa menjadi solusi. Akan tetapi, kalau dilihat dari aturan
operasional atau aturan pemerintah, harapan itu belum cukup bisa terwujud karena ada
sejumlah persoalan yang saya pikir bisa saja menjauhkan kesejahteraan bagi buruh atau
pekerja," pungkas Willy.
Persoalan yang dimaksud, menurut Willy, adalah batas atas manfaat uang tunai. Dengan aturan
batas manfaat maksimal uang tunai sebesar Rp5 juta, di mana peserta JKP hanya menerima 45
persen dari upah terakhir per bulan selama tiga bulan dan dan 25 persen di 3 bulan berikutnya,
justru malah menciptakan kelompok miskin baru.
"Manfaat uang tunai 45 persen selama 3 bulan, kemudian 25 persen di 3 bulan selanjutnya itu
angka darimana dan apa maksudnya. Kalau disimulasi manfaatnya sangat kecil. Maka perlu
adanya kinerja perbaikan. Di samping batas atas upah, seharusnya JKP membatasi batas
minimum manfaat uang tunai yang diterima pekerja atau buruh untuk mencegah lahirnya
kelompok miskin baru," ujar Willy.
Persoalan selanjutnya, Willy juga menyoroti manfaat lain dari program JKP, yakni akses informasi
pasar kerja dan pelatihan kerja. Menurutnya, pemerintah harus mempersiapkan jenis-jenis
pelatihan kerja yang sesuai dengan kemampuan pekerja atau buruh yang di-PHK tersebut.
"Pelatihan kerja seperti apa sih yang dipersiapkan pemerintah, itu disediakan. Jangan-jangan
(pelatihan kerja) yang disediakan pemerintah tidak sesuai dengan kondisi dunia kerja dan bisa
saja tidak sesuai dengan minat buruh yang bersangkutan," lanjutnya.
Terakhir, Willy juga menyayangkan minimnya informasi bagi pekerja atau buruh yang ingin
mengetahui status iuran yang telah dibayarkan oleh perusahaan atau pengusaha terhadap
pekerja untuk mendapatkan manfaat JKP.
"Bagaimana buruh atau pekerja mengetahui bahwa iuran sudah dibayarkan dan bisa dengan
mudah mengetahui status kepesertaan apakah sudah dibayar atau belum oleh pengusaha atau
perusahaan. Kasihan jika pekerja tidak mendapatkan informasi dengan harapan sudah eligible
, ternyata perusahaan tidak membayarkan," papar Willy.
Meski demikian, Willy mengapresiasi pemerintah yang telah mempersiapkan program JKP.
Menurutnya, pekerja atau buruh sudah seharusnya mendapatkan perlindungan kesejahteraan
pasca di-PHK dari perusahaan tempat mereka bekerja.
"Niatnya sudah bagus, harus diapresiasi di mana negara sudah menunjukkan niatnya dalam
menjaga kesejahteraan. Tetapi antara niat dan regulasi operasionalnya belum terlihat. Akan lebih
bagus jika ada regulasi yang jelas untuk menggabungkan niat itu," tutup Willy.
Celah yang bisa diperbaiki dari program JKP Senada dengan Willy, Dosen Hukum
Ketenagakerjaan UGM Nabiyla Risfa Izzati menilai bahwa syarat kepesertaan JKP yang paling
sedikit mengiur 12 bulan dalam 24 bulan dan telah mengiur paling singkat 6 bulan berturut-
turut, berpotensi tidak bisa dinikmati oleh pekerja/buruh yang di-PHK.
"Jika merujuk ketentuan tersebut, hal ini tentu disayangkan karena PHK justru banyak terjadi
belakangan ini karena pengaruh pandemi Covid. Para pekerja yang di-PHK (saat ini) jadi tidak
bisa merasakan manfaat JKP, padahal justru sangat dibutuhkan," tukas Nabiyla kepada Lokadata
, Minggu (30/5/2021).
5