Page 62 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 30 SEPTEMBER 2020
P. 62
RAPAT DI HOTEL TUTUP AKSES PUBLIK
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja oleh Badan Legislasi DPR dan perwakilan
pemerintah di hotel berbintang selama empat hari terakhir ini dipertanyakan. Selain memakan
anggaran besar di tengah kondisi resesi dan kesulitan masyarakat menghadapi dampak ekonomi
akibat pandemi Covid-19, pembahasan di luar gedung DPR itu juga menyulitkan pemantauan
publik. Padahal, tema yang dibahas merupakan isu sensitif.
Rapat di hotel berbintang di area Tangerang, Banten, dimulai sejak Sabtu (26/9/2020). Hingga
Selasa (29/9), rapat masih digelar di hotel berbintang. Salah satu agenda rapat membahas klus-
ter ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja. Pembahasan kluster ini mendapat sorotan dari banyak
kalangan, terutama buruh.
Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) Achmad Baidowi mengatakan, pembahasan di luar Gedung DPR terpaksa dilakukan karena
ada pemadaman listrik di gedung tersebut.
Pada Sabtu dan Minggu, pihak Sekretariat Jenderal DPR memadamkan aliran listrik untuk
perbaikan. Namun, pada Senin dan Selasa ini, listrik telah normal kembali di gedung DPR
Menurut Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, Selasa, pembahasan RUU dilakukan di luar
Gedung DPR karena Baleg DPR melakukan upaya mitigasi teknis. "Itu upaya mitigasi teknis
supaya tidak terhambat saja (pembahasannya). Lebih bersiap supaya lebih fokus tanpa
gangguan teknis," katanya.
Rapat di luar Gedung DPR tidak diatur detail di dalam tata tertib DPR. Kendati ada ketentuan
untuk meminta persetujuan dari pimpinan DPR, termasuk untuk menyelenggarakan rapat di hari
libur, penyelenggaraan rapat pembahasan RUU Cipta Kerja yang terkesan dikebut menunjukkan
tingginya kepentingan untuk mengesahkan RUU itu secepatnya. Pada dua kali masa reses DPR
di masa sidang sebelumnya, RUU itu juga tetap dibahas.
Praktik rapat DPR di hotel sejak lama dikritik, bahkan dilarang pimpinan DPR di era Setya Novanto
karena disoroti oleh publik dan dinilai menghabiskan anggaran.
"Kini, praktik itu dilakukan lagi. Rapat di hotel tentu anggarannya lebih besar daripada rapat di
gedung sendiri. Tetapi, ada faktor pengelolaan anggaran juga di sini karena ini, kan, akhir tahun
dan Oktober sudah mau dibahas anggaran tahun depan sehingga rapat-rapat di hotel itu antara
lain untuk memaksimalkan serapan anggaran," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen
Indonesia (For-mappi), Lucius Karus.
Kajian yang dilakukan For-mappi tahun 2018 menunjukkan, untuk membahas dan menghasilkan
satu RUU, DPR mengeluarkan anggaran berkisar Rp 6 miliar-Rp 7 miliar. Anggaran itu berasal
dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Di samping anggaran pembahasan
ditanggung DPR, ada juga anggaran pembahasan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Selain rapat di hotel memakan anggaran besar, tak terbuka ruang publik untuk mengetahui
jalannya pembahasan RUU. Dalam konteks RUU Cipta Kerja, misalnya, kelompok buruh yang
berkepentingan atas RUU itu, plus kelompok masyarakat sipil, tak bisa secara langsung
memantau pembahasan.
"Jadi, selain problem anggaran, pembahasan di hotel ini juga menyimpan problem substantif
dalam asas pembahasan suatu RUU, yakni transparansi dan keterbukaan publik. Sebab, pada
kenyataannya, putusan yang diketok dalam pembahasan itu berbanding terbalik dengan
keinginan buruh dan masyarakat sipil," katanya.
Keteladanan elite
61