Page 248 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 248
sedikit menunduk seperti sikap satria pewayangan.
Sebaliknya, hasrat berkilatkilat di mata Kupu. Begitu
nyata terlihat seperti tatkala kemarahan nyalang di matanya
tampak bagi Nyi Manyar yang menemukan dia di Sendang
Hu, dulu. Sebagian anak desa menerima keadaan mereka yang
sederhana. Mereka tak ingin jadi anak pintar. Mereka senang
bermain saja dan tak begitu tahu apa gunanya belajar atau
bersekolah. Mereka tak mengerti apa guna membaca. Sering
kali mereka sulit dibedakan satu sama lain. Tidak demikian
Kupu. Sejak bayi ia minum susu dan makan bubur bergizi, yang
dikirim Suhubudi diamdiam. Suhubudi memasok beberapa
buku—sebagian adalah lungsuran Jati yang telah bosan, yang
dibaca Kupu berulangulang sendirian, sebab orangtua asuh
nya tak begitu bisa bacatulis.
Kupu bertumbuh dan diamdiam mengetahui bahwa dia
pun berbeda dari kebanyakan anak desa. Dialah yang paling
mendekati bintang sekolah, anak yang istimewa itu, Parang
Jati. Tapi sekaligus Parang Jati tak terjangkau olehnya. Parang
Jati datang dari sebuah istana yang terletak di balik berhektar
ladang dan hutan. Parang Jati adalah pangeran yang dititahkan
untuk berbaur dengan rakyat jelata demi merasakan susah
senang mereka sebagai bagian dari pendidikan kenegarawan
annya. Setiap malam toh Parang Jati pulang ke istana dan tidur
di kasur empuk berpegas. Di kamar pribadinya barangkali
Parang Jati memiliki segala mainan yang menggunakan bate
rai. Segala buku cerita dengan gambar warnawarni dan sampul
keras, yang boleh disimak sampai larut malam dalam kamar
yang terang oleh lampulampu. Sedangkan dia, Kupu, tidur di
lihap yang telah cedok dan bocor di sanasini, biji kapuknya
bertonjolan, berbagi dengan ayah ibunya, seorang penyadap
nira yang menyambi penggali batu dan seorang bekas pesinden
yang telah serak. Ketika malam tiba ia sulit membaca, sebab
listrik tak mengalir ke rumahnya dan minyak harus dihemat.
23