Page 250 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 250

untuk  menjadi  panembahan.  Sedangkan,  jika  ia  menyerukan
               diri, ia masih bisa mendapatkan kesempatan itu, meski belum
               pasti  juga.  Maka,  ketika  Pak  Guru  hendak  mengumumkan
               pilihan  atas  para  murid,  ia  mengacungkan  tangan.  Gerakan
               itu demikian cepat, seolah ia menebaskan pedang menampik
               bahaya dalam rupa kertas daftar pemeran sandiwara. Kertas itu
               pun tercabik­cabik.
                   “Permisi, Pak. Saya mau usul.”
                   “Ya, Kupu?”
                   “Saya usul agar murid­murid yang jangkung memerankan
               Belanda. Sebab, bukankah orang Belanda itu tinggi­tinggi.”
                   Beberapa anak berseru hu yang panjang. “Dirinya mau jadi
               Senapati!”
                   “Bukan begitu!” tiba­tiba ia garang membela diri. “Kalau
               kita memang ingin menang perlombaan, kan harus masuk akal,
               tho? Belanda itu kan besar­besar, orang Jawa itu kecil­kecil. Itu
               kan kenyataan.”
                   Dalam  perdebatan,  terdengar  bisik­bisik  yang  berubah
               menjadi  dengung.  Kumandang  itu  semakin  nyaring.  Kupu
               berhasil membuat anak­anak yang bertubuh pendek berpihak
               padanya. Mereka berseru bahwa jati diri bangsa Jawa adalah
               cilik­cilik. Para penjajah itu tinggi­tinggi sebab mereka rakus
               dan licik seperti para raksasa. Peristiwa ini dicatat Parang Jati
               dalam buku hariannya yang kubaca kelak. “…tiba­tiba semua
               orang  kerdil  menjadi  congkak  akan  kekerdilan  mereka  dan
               menyalahkan  orang­orang  yang  lebih  tinggi  dari  mereka.”
               Demikian tulis Parang Jati. “Lihatlah. Mereka berteriak: Hidup
               kekerdilan!”
                   Dalam perdebatan itu Jati berdiam diri lama. Ia sebetulnya
               setuju  bahwa  yang  tinggi  menjadi  Belanda.  Tetapi  ia  tidak
               suka cara Kupu mengarahkan emosi “orang­orang kerdil” itu
               untuk  mempertahankan  “kekerdilan”  sebagai  jati  diri  mulia.
               “Mengapa  mereka  tidak  bisa  menerima  tubuh  kerdil  mereka


            2 0
   245   246   247   248   249   250   251   252   253   254   255