Page 249 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 249
Jika cadangan minyak untuk lampu masih ada, ia membaca
sebanyakbanyaknya. Mengulangulang buku yang telah habis.
Jika cadangan minyak telah kering, ia berbaring dan memutar
kembali bacaan yang telah terekam di kepalanya. Kadang
kadang ia menulis juga.
“Namaku Kupukupu. Tapi aku ini masih ulat. Suatu hari
akan menjadi kupukupu,” tulisnya dalam sebuah sajak anak
anak.
“Sebagian makhluk diciptakan sama dari lahir sampai
matinya. Sebagian makhluk ditakdirkan tidak bermetamorfosa.
Mereka cacing seumur hidupnya, atau elang seumur hidupnya.
Aku bukan bagian mereka.” Demikian nanti ia tulis dalam sajak
berjudul “Manifesto Masa Remaja”.
“Anakanak di desa ini tidak melek matanya. Mereka tidak
tahu bahwa mereka miskin, bodoh, dan sesungguhnya buta
huruf. Mereka berada dalam kegelapan. Aku merasa, hanya aku
sendiri yang terbuka matanya.” Demikian ia tulis, yaitu ketika
ia telah menarik garis dengan pedang dan meletakkan diri di
seberang Parang Jati. Kelak, setelah lewat usianya enambelas
dan Parang Jati sembilanbelas.
Tapi hari ini Kupu masih delapan tahun dan Jati sebelas
tahun. Mereka masih duduk sila bersama, di antara anakanak
yang akan berlatih drama perayaan kemerdekaan. Sandiwara
berlakon “Kisah Pasukan Sultan Agung Mataram Menyerang
Benteng Belanda di Jakarta”. Ceritanya telah jelas, tapi judul
nya masih belum tetap. Jati, kepalanya sedikit menunduk. Ku
pu, ia menyembulkan wajahnya di antara bocah lain. Matanya
berkilatkilat.
Orang Jawa menghargai sikap tidak menonjolkan diri.
Becik ketitik, ala ketara. Kebajikan akan terbetik, kejahatan
akan kentara. Tapi, hari ini secara naluri Kupu tahu bahwa jika
ia tidak meneriakkan pendapat, ia pasti kehilangan kesempatan
23