Page 130 - Tokoh Pemikir Karakter Bangsa
P. 130

TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA



                sekali tidak benar. Ia mengatakan bahwa ia dan para peserta Kongres
                tidaklah  anti-intelektualisme,  melainkan  sangat  mendukung  penuh
                                                  60
                gagasan intelektualisme tersebut.  Hampir seluruhnya para peserta
                kongres  adalah  alumni  dari  pendidikan  Barat.  Maka,  sifat
                intelektualisme  atau  tata  cara  mengelola  kecerdasan  menjadi  hal
                yang  patut  dijunjung  tinggi  dan  dihormati,  sehingga  tidak  benar
                bahwa  dirinya  dalam  kongres  tersebut  mendukung  anti-
                intelektualisme  yang  merupakan  produk  Barat.    Berikut  kutipan
                pendapat Soetomo menaggapi tudingan dari Sutan Takdir tersebut:


                        “Sutan  Takdir  Alisjahbana  mengatakan  bahwa  kongres  ini
                        bersuara  anti-intelektualisme.  Itu  kurang  benar.  Seluruh
                        pemrasarana  adalah  orang  yang  mendapatkan  didikan  ala
                        barat.  Tidak  satupun  dari  mereka  yang  tidak  mengakui,
                        menghormati atau merasa heran bagaimana cara “mengolah
                        kecerdasan”  seperti  yang  dilakukan  sekolah  barat  itu.  Dr.
                        Radjiman mengatakan bahwa cara memelihara “akal” adalah
                        ketelitian  (perfect).  Pujian  yang  kita  akui  sungguh  pada
                        tempatnya.  Bagaimana  mungkin  ada  yang  berpendapat
                                                                               61
                        seolah-olah pemrasana cenderung anti-intelektualisme”.


                        Selain  itu,  Soetomo  berbeda  dengan  Sutan  Takdir  dalam
                menyikapi  sejarah.  Sebelumnya  Sutan  Takdir  menganggap  bahwa
                masyarakat  Indonesia  seperti  benalu  yang  selalu  tertempel  pada
                masa  silam,  yang  kemudian  membuat  masyarakat  Indonesia  selalu
                terjerembab  dalam  kehati-hatian  dan  takut  dalam  melangkah.
                Sebaliknya Soetomo beranggapan bahwa justru dari masa silam kita
                dapat  belajar  dan  memotong  fase  evolusi.  Sebagai  misal,  jika  kita
                belajar  dari  kegetiran  sejarah  Barat  dalam  menempuh  kecerdasan
                intelektual  sangatlah  pahit  jika  dibayangkan.  Namun  jika  kita
                memahami esensi dari peristiwa tersebut, kita dapat memotong jalan
                atau memotong fase dalam mencapai kecerdesan intelktual. Dengan
                demikian,  kita  tidak  perlu  berjibaku  dengan  kegetiran  yang  dialami




                120
   125   126   127   128   129   130   131   132   133   134   135