Page 142 - Tere Liye - Bumi
P. 142

TereLiye “Bumi”   139




                         Sosok tinggi kurus itu tertawa. ”Kamu sepertinya tidak be­l­ajar,

                  Nak. Kamu tidak bisa menghilangkan orang yang sudah hilang dari dunia
                  ini. Ingat kucing hitamku?”

                         ”Hilanglah!” aku menjerit panik.


                         Sebanyak apa pun aku bisa menghilangkan, mereka muncul
                  kembali.

                         ”Kamu masih harus belajar banyak, Gadis Kecil.  Itulah guna­nya
                  kamu ikut denganku. Dunia Tanah ini terlalu hina untuk klan kita.”
                  Sosok kurus itu tergelak.


                         Mereka berhasil meringkus Seli, mengikat seluruh tubuhnya dengan
                  jaring perak. Seli  berontak, berusaha melawan dengan sisa tenaga,
                  namun sia­sia. Jaring itu semakin kencang setiap kali dia berontak.

                         ”Tinggalkan saja Makhluk Tanah itu. Kalian tidak perlu
                  mem­bawanya,” sosok tinggi itu berseru.


                         Ali dilemparkan kembali ke lantai aula sekolah. Jaring perak yang
                  telanjur membungkusnya membuka sendiri. Jaring itu me­rangkak
                  kembali ke tombak perak.


                         Aku terdesak di dinding, panik melemparkan apa saja yang ada di
                  dekatku, termasuk  bola voli dan galah. Tidak ada artinya  bagi mereka.
                  Aku tidak bisa ke mana­mana. Empat dari mereka mengepungku. Salah
                  satu dari mereka  mengacungkan tombak yang dari ujungnya keluar
                  jaring. Aku menunduk, berusaha menghindar. Percuma, jaring itu seperti
                  bisa bergerak sendiri, berubah arah, siap menjerat.

                         Tidak ada lagi yang dapat kulakukan, tiga orang anak kelas sepuluh
                  melawan delapan orang dewasa yang tiba­tiba datang dari lubang di
                  dinding aula, ditambah sosok tinggi kurus itu. Kami bukan lawan
                  sebanding. Tidak adakah yang mendengar semua kegaduhan di dalam
                  aula? Datang menolong kami? Bukan­kah teriakanku dan Seli seharusnya
                  terdengar lantang dari luar?


                         Aku mengeluh, bahkan suara sirene mobil pemadam kebakar­an di
                  halaman sekolah pun tidak bisa kami dengar, se­akan ada tabir yang






                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   137   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147