Page 151 - Tere Liye - Bumi
P. 151

TereLiye “Bumi”   148




                         Tetapi pertarungan jauh dari selesai. Sosok tinggi kurus itu masih

                  bisa berdiri, tertawa marah. Aku mengeluh melihatnya. Bu­­kan­kah dia
                  sudah terkena pukulan kencang Miss Selena?

                         Belum habis suara tawa sinisnya, tubuh itu telah menghilang.
                  Berikutnya dia muncul, melompat  persis di depan  Miss Selena,
                  menyerang. Miss Selena dengan gesit menghindar. Sosok tinggi kurus itu
                  menghilang kembali. Itu hanya serangan tipuan, karena kemudian dia
                  muncul di belakang Miss Selena, menghunjamkan tinjunya. Lebih cepat.
                  Lebih bertenaga.  Miss Selena menangkis. Disusul lagi serangan
                  berikutnya.


                         Aku menelan ludah. Gerakan mereka sekarang nyaris tidak terlihat
                  saking cepatnya.

                         ”Apakah Miss Selena baik­baik saja?” Seli bertanya. Suaranya
                  bergetar oleh kecemasan.


                         Aku menggeleng. Aku tidak tahu. Sejauh ini Miss Selena ber­tahan,
                  tidak punya kesempatan balas menyerang.

                         Dua pukulan dari sosok tinggi  kurus itu susul­menyusul
                  meng­hantam tameng lubang hitam yang dibuat Miss Selena. Lubang itu
                  berhamburan,  sosok tinggi kurus itu merangsek maju, melepas lagi dua
                  pukulan beruntun. Miss Selena terlambat me­nangkis pukulan terakhir,
                  berdebum, tubuhnya terbanting ke samping. Sosok tinggi kurus itu

                  sepertinya tidak memberi jeda. Dia tidak berhenti, dan melepas pukulan
                  berikutnya sebelum Miss Selena kembali siap.

                         Seli menjerit melihat Miss Selena terbanting ke sana kemari, sama
                  sekali tidak bisa menangkis. Satu, dua, tiga pukulan, Ali ikut menahan
                  napas tegang. Empat, lima, enam pukulan, entah sudah seperti apa
                  kondisi Miss Selena menerima begitu banyak tinju, berdentum berkali­
                  kali. Tujuh, delapan, aku sudah tidak tahan lagi melihatnya. Miss Selena
                  tidak akan kuat menerima pukulan bertubi­tubi. Dia butuh bantuan. Aku
                  refleks melompat,  mengangkat tangan, jemariku mengepal membentuk
                  tinju, berteriak marah. ”Hentikan!”


                         Astaga! Aku hanya  berniat melompat satu langkah, tapi tubuhku
                  bergerak jauh sekali. Entah bagaimana caranya, suara berdesir kencang





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   146   147   148   149   150   151   152   153   154   155   156