Page 148 - Tere Liye - Bumi
P. 148

TereLiye “Bumi”   145




                         Badannya ringan melompat ke depan, memukulkan tangan

                  kanannya. Miss Selena dengan cepat menghindar ke samping. Tidak
                  terlihat apa yang melintas di  udara menyerbu Miss Selena, hanya
                  suaranya menderu kencang, dan  saat mengenai tembok aula,
                  menimbulkan dentum keras. Tiang basket hancur berantak­an. Aku, Seli,
                  dan Ali membungkuk, berlindung. Lantai yang kami pijak bergetar. Tabir
                  yang melindungi dinding aula bergoyang.

                         Sosok tinggi kurus itu tidak berhenti. Dia segera mengirim tiga­
                  empat pukulan lainnya. Aku menatap jeri. Tidak ada lagi yang kami kenali
                  dari Miss Selena, guru matematika kami. Dia melompat ke sana kemari,
                  dengan tangkas menghindari pukulan jarak jauh itu. Dentuman kencang
                  susul­menyusul.


                         Sosok tinggi kurus  itu menggeram, untuk kesekian kali mencecar
                  dengan tinjunya. Aku berseru tertahan karena kali ini Miss Selena tidak
                  sempat menghindar. Sepersekian detik se­belum deru pukulan itu tiba,
                  Miss Selena membuat tameng besar, lubang hitam, deru serangan
                  tersedot masuk ke dalamnya. Lubang mengecil, lantas lenyap, persis
                  bersamaan dengan  Miss Selena maju  mengirim serangan balasan untuk
                  pertama kalinya. Tangan kanan Miss  Selena meninju ke  depan. Sosok
                  tinggi kurus itu terlihat kaget. Dia yang telanjur merangsek maju,
                  se­pertinya tidak mengira serangan itu datang, terlambat  meng­hindar.
                  Tubuhnya terbanting dihantam sesuatu yang tidak ter­lihat. Tubuhnya
                  mental sepuluh meter, hingga tembok aula me­nahannya.


                         Aku mengepalkan tangan. Rasakan!

                         Seli yang menunduk di sebelahku mengangkat kepala, meng­intip,
                  ingin tahu apa yang sedang terjadi. Sedangkan Ali, lagi­lagi memukul
                  salah satu dari orang­orang pembawa panji yang me­rangkak hendak
                  bangun. Aku me­lotot. ”Hei, Ali, apa yang kamu lakukan?”


                         Ali lagi­lagi mengangkat bahu. ”Semoga saja dari delapan orang
                  berpakaian gelap yang tergeletak itu tidak ada yang tiba­tiba bangun. Itu
                  bisa berbahaya, kan?” ujarnya santai.

                         ”Kamu sepertinya belajar dengan baik sekali, Selena.” Sosok kurus
                  tinggi itu tertawa  pelan. Dia berdiri, menyeka mulutnya, merapikan
                  jubahnya.





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   143   144   145   146   147   148   149   150   151   152   153