Page 125 - e-book Bahasa Indonesia kreatif Kelas XII
P. 125

Latihan Soal:
            A. Pilihan ganda
            1.      Bacalah paragraf di bawah ini dengan cermat!

            “Cerita Lidah (masih) Pingsan sebenarnya merupakan kelanjutan dari cerita Lidah Pingsan. Cerita ini
            menitikberatkan pada usaha Aji, seorang wartawan yang tetap bersimpati pada Pak Mardiko, mesti

            Lurah Sepuh sudah lengser keprabon dan digantikan oleh Lurah Baru. Aji yang tetap optimis terhadap
            profesinya,  akhirnya  harus  menyerah  pada  keadaan.  Dunia  pers  bukanlah  dunia  yang  bebas  meski
            kebebasan telah digembar-gemborkan oleh pemerintahan Lurah Baru. Faktanya, Tak ada beda antara

            Lurah Sepuh dengan Lurah Baru. Setiap kali ia hanya diping-pong ke Lurah Sepuh atau ke Lurah Baru.
            Kesaksiannya kepada publik terhadap perilaku protes Pak Mardiko dalam bentuk pepe di Balai Desa

            Menangan  tak  membuahkan  hasil.  Alhasil,  kesepian  di  tengah  hiruk  pikuk  perubahan  itu  tetap
            membelenggunya.  Ia  tetap  tak  bisa  bersuara  tentang  kasus  Mardiko  yang  anaknya  dituduh
            menggerakkan kerusuhan dan hilang tak tentu rimbanya. Lidah dan penanya tetap tak bisa berbuat

            apa-apa. Lidah itu masih pingsan.


            Penggalan esai pementasan drama monolog “Lidah (masih) Pingsan” di atas berisi tentang...
            A.      Penilaian terhadap pertunjukan drama monolog “Lidah (masih) Pingsan”

            B.      Komentar terhadap penampilan Butet sebagai pemain drama monolog “Lidah (masih) Pingsan”
            C.      Komentar penulis tentang pementasan drama monolog “Lidah (masih) Pingsan”

            D.      Perbedaan cerita antara “Lidah Pingsan” dengan “Lidah (masih) Pingsan.”
            E.      Ringkasan cerita drama monolog “Lidah (masih) Pingsan”


            2.      Bacalah paragraf berikut dengan saksama!
            Cerpen Bom akan sulit dipahami oleh orang awam. Ini mungkin saja mengingat kurang- untuk tidak

            mengatakan  tidak-komunikatif  yang  disebabkan  oleh  bentuknya  yang  nonkonvensional  di  samping
            isinya yang cukup berat bagi pembaca awam dan teramat intelek. Nilai cipta sastra tidak ditentukan
            oleh melimpah ruahnya penggemar. Putu Wijaya bukannya tidak menyadari hal ini. Sebagai seorang

            pengarang (sastra), dia berusaha tegak sebagai suatu prib adi yang merekam kegelisahan diri maupun
            masyarakat  dengan  cara  sedemikian  rupa  jauh  dari  motif  memberontak,  suatu  sikap  yang  dimiliki

            seorang penyair cenderung menjajikan problematika.








            124  | B a h a s a   I n d o n e s i a  K r e a t i f
   120   121   122   123   124   125   126   127   128   129   130