Page 89 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 89

setiap  pengelompokan,  yaitu  yang  dalam  bahasa  Melayu
          dinamakan  Tiang  Bendera  dan  Ujung  Bendera.  (Duyvendak,
          1926, loc.cit.).
              Pengumpulan ratusan orang di tempat saniri memerlukan
          waktu  berbulan-bulan,  sehingga  masalah  logistik  merupakan
          lembaga  adat  tersendiri  pula  bahkan  ada  tempat-tempat
          tertentu yang dinyatakan milik bersama Tiga Batang Air untuk
          dijadikan tempat  saniri.  Musyawarah  berlangsung di  tempat
          yang  ditandai  oleh  dua  batang  pohon  yang  dibaringkan
          sejajar.  Di  ujung-ujungnya  duduk  para petugas  saniri  yang
          dinamakan Tiang Bendera dan Ujung  Bendera.  Para petugas
          itu  mempersilahkan  mereka  yang  ingin  mengemukakan
          pendapatnya untuk  berdiri  di  tengah-tengah  kedua  batang
          pohon itu dan berbicara.  Keputusan diambil secara aklamasi,
          dan  pihak-pihak  yang  bersalah  dikenakan  denda  berupa
          sejumlah gong perunggu.  (Duyvendak, 1926, Zoe.cit.).

              Lembaga Saniri  Tiga  Batang  Air bertahan hingga  akhir
          abad ke-19.  (Knaap, 1993, loc.cit.). Sebabnya terutama karena
          intervensi Belanda melalui senjata dengan maksud mengakhiri
          perang-perang suku yang disertai pengayuan  itu.

              Tidak dapat dikatakan dengan pasti apakah lembaga saniri
          seperti  yang  diselenggarakan  masyarakat  Waele  Telu  yang
          dibakukan  melalui  upacara  kakehan  itu  terdapat juga  di
          wilayah-wilayah  lainnya  di  Maluku  tengah.  Ada  tanda-tanda
          bahwa institusi  semacam itu memang pernah ada.  Pertama-
          tama istilah saniri  masih tetap digunakan di  negeri-negeri di
          Maluku Tengah pada umumnya untuk menyebut musyawarah
          penduduk negeri.  Selain itu, penelitian kebahasaan yang akan
          dikemukakan  dalam  bagian  di  bawah  ini  menunjuk  pada
          kenyataan,  bahwa  di  negeri-negeri  Maluku  Tengah  tersebut
          pernah digunakan pula sistem kebahasaan yang masih terdapat
          di  kalangan  alifuru  (di  sini  dinamakan  bahasa-bahasa proto
          Maluku  Tengah yang merupakan  cabang dari  bahasa-bahasa
          proto-Austronesia). Sebab itu tidak mengherankan bila sejak
          awal  abad  ke-20  budaya  alifuru  menjadi  salah  satu  sumber
          inspirasi masyarakat pesisir di Maluku Tengah yang nampaknya
          telah  dilanda  oleh  proses  modernisasi  yang  berawal  di


                                         73
   84   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94