Page 86 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 86
termasuk Seram Barat (Seram Timur termasuk gouvemement
Banda); dan benteng Amsterdam di Hila yang menjadi pusat
wilayah jazirah Hitu (di pulau Ambon) dan jazirah Hoamoal
(di pulau Seram). Di pulau-pulau lain di Uliase yang
menghasilkan cengkeh juga terdapat benteng yang lebih kecil
lagi (redout), seperti di Haruku {pulau Haruku) dan di Arnet
{pulau Nusalaut). Di Hoamoal, Buru dan Seram Utara terdapat
pula benteng-benteng kecil sebagai warisan dari masa Perang
Ambon (wilayah-wilayah itu tidak dibenarkan memproduksi
cengkeh).
Negeri-negeri yang dilengkapi perbentengan itu kemudian
berkembang sejak abad ke-19 (masa Hindia Belanda) menjadi
pusat-pusat administrasi pemerintahan, dan kini meneruskan
tradisi itu sebagai kota-kota kecamatan.
Dengan sendirinya negeri-negeri di pulau Seram dan pulau
Buru yang tidak diizinkan memproduksi cengkeh memiliki
struktur sosial yang terbelakang dibandingkan di kepulauan
Ambon dan Uliase. Status pemimpin negeri pun sangat jarang
bisa melampaui pejabat yang bergelar Pati. (Van Fraassen,
1972).
Berbeda dengan di Maluku Utara, pulau-pulau inti terse but
tidak memiliki kedudukan dominan dalam soal politik atas
pulau-pulau di sekitarnya itu. Hubungan politik pulau-pulau
Seram dan Buru, seperti halnya dengan kepulauan Ambon dan
Uliase, hanya terkait dengan birokrasi Belanda yang
berkedudukan di kota Ambon dan Hila (di pulau Ambon) dan
Saparua. Persamaannya dengan Maluku Utara adalah larangan
memproduksi cengkeh. Kepentingan voe di sini, seperti juga
di Maluku Utara, adalah mencegah perdagangan rempah-
rempah itu, yang dilakukan (juga sama dengan di Maluku
Utara) dengan mengerahkan Hongi setiap saat diperlukan.
Dengan demikian, baik dari segi politik, ekonomi, maupun
budaya, kepulauan Seram dan Buru adalah periferi dari
kepulauan Ambon dan Uliase.
70