Page 25 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi
P. 25
utama penelitian pembentukan modal era 90-an (orde
pembangunan) di atas masih bersandar pada pendekatan
“menetes ke bawah” (trickle down efect). Dengan menekankan
asumsi bahwa peluang bekerja ditentukan oleh peluang
berusaha dimana masih adanya kelembagaan tradisional yang
mengatur kewajiban-kewajiban golongan ekonomi kuat dalam
membantu golongan miskin di desa. Semakin luas peluang
berusaha bagi golongan ekonomi kuat di desa (elite desa),
semakin luas pula peluang bekerja bagi buruh tani atau
golongan miskin di desa.
Di tempat berbeda, lewat berbagai penelitiaan di bebe-
rapa negara Afrika, Chambers dan kawan-kawan (Sussex
University) di era 90an mengembangkan konsep “Sustain-
able Livelihood” (SL). Berkaitan dengan hal ini, para ahli
Bank Dunia pun turut mengembangkan konsep SL tersebut
yang di dalamnya mencakup konsep penguatan “modal
sosial”. Masuknya variabel “modal sosial” ini ditengarai oleh
berbagai kegagalan proyek pengentasan kemiskinan Bank
Dunia di negara-negara Afrika (bandingkan dengan konsep
Graamen Bank Muhammad Yunus). Kritik utama dari
konsep “modal sosial” Bank Dunia bahwa konsep tersebut
hanya sebatas solusi dari inefisiensi penyaluran bantuan.
Selanjutnya, para antropolog Bank Dunia pun mengembang-
kan konsep “Community-Driven Development” (CDD) yang
di Indonesia diterjemahkan dalam proyek P2KP, PNPM dan
sebagainya. Selain itu, hal yang perlu digarisbawahi dari
laporan World Development Report 2008 adalah disuguhkan-
nya sebuah fakta bahwa masyarakat pedesaan saat ini tidak
lagi menggantungkan diri pada sektor pertanian.
Namun demikian, persoalan ketimpangan struktur
agraria tidak dilihat sebagai prioritas masalah. Mengenai
bentuk penguasaan dan status hukum dari sumber agraria,
menurut de Soto (2003), kurang dari 80% rakyat di dunia
ketiga dan di negara-negara bekas Soviet tidak memiliki good
11