Page 71 - Nanos Gigantum Humeris Insidentes: Sebelum Meneliti Susunlah Bibliografi Beranotasi dan Kajian Pustaka
P. 71
Secara formal, konsesi lahan komunal diserahkan kepada
perusahaan perkebunan dalam bentuk Hak Guna Usaha
(HGU). Hal ini menghilangkan hak masyarakat adat terhadap
lahan komunal. Mereka diajak bergabung dalam skema inti-
plasma perkebunan sawit. Skema ini mengharuskan mereka
menyerahkan lahan untuk mendapatkan sepetak kebun sawit
dengan perbandingan 5:2 atau 7:2. Artinya, mereka memberikan
lima atau tujuh hektar lahan dan mendapatkan dua hektar lahan
yang sudah ditanami sawit. Sisa tiga atau lima hektar lahan
tersebut menjadi milik perusahaan inti perkebunan. Meskipun
kebun sawit yang mereka dapatkan itu lebih kecil daripada
lahan yang mereka serahkan, setelah mendapatkan kebun
sawit mereka harus membayar cicilan untuk melunasi kebun
tersebut. Hasil bulanan yang mereka dapat dari panen sawit
dipotong oleh perusahaan, antara lain untuk membayar cicilan,
pemeliharaan infrastruktur, ongkos transportasi, pembelian
pupuk, dan bibit.
Pemerintah memberlakukan sertifikasi lahan pribadi
berkenaan dengan pembukaan perkebunan sawit. Proses
formalisasi kepemilikan lahan ini menunjuk laki- laki kepala
keluarga sebagai pemilik lahan. Perempuan dapat menjadi
pemilik lahan secara formal jika suaminya meninggal atau
bercerai. Satu perempuan bukan janda yang diwawancara dalam
penelitian ini mengatakan bahwa ia membuat KTP dengan
status janda supaya bisa memiliki lahan secara formal. Tadinya,
secara adat, perempuan Dayak Hibun memiliki lahan, misalnya
melalui warisan. Namun, akibat proses formalisasi kepemilikan
lahan, sertifikat lahan itu harus atas nama suaminya. Akibatnya,
kontrol perempuan terhadap penghasilan keluarga berkurang.
Perempuan yang mengalami hal ini ada yang harus menjadi
penderes karet di kebun tetangga untuk memenuhi keperluan
36