Page 31 - Dinamika Pendaftaran Tanah Adat di Kampung Naga
P. 31
(Adiwibowo & Rachman, 2012). Berbagai ragam nama sistem tenurial
tradisional itu, tetap tidak mengingkari persamaan ciri khas sistem
tersebut, di antaranya:
a. Penguasaan tanah sebagai identitas kultural.
Keterkaitan antara tanah dan identitas kultural ini sangat kuat,
bahkan tanah dipersepsikan sebagai ‘ibu’ yang melahirkan kehidupan
pada kelompok manusia tersebut. Tanah bernilai lebih tinggi dari
sumber daya ekonomi, sehingga tanpa tanah tidak akan ada sejarah
kehidupan dalam sebuah kebudayaan.
b. Sistem penguasaan tanah berlapis antara keluarga dengan individual.
Sifat komunal terletak di atas penguasaan individual, padahal
keduanya tetap diakui keberadaannya. Kepemilikan lokal berada
di lapisan terluar yang berfungsi sebagai membentuk relasi dengan
pihak luar, namun di dalamnya kepemilikan individu dan keluarga
tetap saling berinteraksi dalam lingkup komunal.
c. Adanya tumpang tindih antara kepemilikan privat dan publik dalam
sistem tenurial.
Eksklusifitas di sistem hukum barat merupakan ciri hak masyarakat
lokal, namun di sistem tenurial tradisional, tidak terlihat. Dengan
kata lain, sesuatu yang dihasilkan atau berhubungan dengan tanah
jika tidak digunakan lagi oleh personal, maka dianggap milik publik,
namun jika belum dipanen oleh pemiliknya seperti kopi, maka masih
milik privat.
d. Adanya kejelasan batas wilayah yang diakui oleh komunitas lain.
Setiap anggota kumpulan masyarakat lokal mengetahui dengan jelas
batas wilayahnya masing-masing, sehingga tidak ada klaim sepihak
atas batas yang tidak jelas.
e. Kelembagaan adat yang mengatur sistem tenurial tanah termasuk
cara penyelesaian konflik.
Sistem tenurial lokal merupakan konfigurasi relasi sosial politik yang
kompleks dalam sebuah komunitas. Persoalannya bukan tentang
manusia dengan tanah, namun tentang pengakuan sistem tenurial
lokal di wilayah tersebut.
12 Dinamika Pendaftaran Tanah Adat
di Kampung Naga