Page 891 - Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria, 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan
P. 891
M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)
Keseluruhan naskah yang disebut di atas sekarang ini merupakan naskah-naskah wajib
bagi para pelajar kebangkitan agenda land reform. Setahun kemudian, terbit pula buku
suntingan Sam Moyo and Paris Yeros (2005) Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements
in Africa, Asia and Latin America, yang mengkoleksi artikel-artikel tentang politik perjuangan
tanah dari berbagai belahan negara Afrika, Asia and Latin America. Argumen utama dari para
penulis ini memperoleh tanggapan kritis dari Ben Cousin (2006) “Debating the Politics of Land
Occupations” dalam Journal of Agrarian Change No. 6(4). Selanjutnya UNDP (the United Nations
Development Programme) membiayai dan kemudian menerbitkan studi yang berjudul Land,
Livelihoods and Poverty in an Era of Globalization: Perspectives from Developing and Transition Countries
yang disunting oleh A. Haroon Akram-Lodhi, Saturnino M. Borras Jr, Cristóbal Kay (2007),
dan yang terakhir adalah karya-karya tulis yang bermutu tinggi dari suatu lingkaran aktivis yang
tergabung dalam LRAN (Land Research Action Network) yang sepanjang tiga tahun pergulatan
advokasi kebijakan nasional dan global pada “Agrarian Reform and Food Sovereignty”: Promised
Land: Competing Visions of Agrarian Reform, yang disunting oleh Peter Rosset,Raj Patel,Michael
Courville (2007).
Sekelumit karya akademik yang diulas di atas, dimaksudkan untuk menunjukkan
kecenderungan global dan rangkai karya akademik yang mendebatkan agenda reforma agraria
dari berbagai sudut pandang, dan menghantar pada suatu niat pokok untuk meninjau fajar (?)
agenda reforma agraria di Indonesia saat ini. Dalam suasana demikian itu lah refleksi dari
kemelut-kemelut keagrariaan saat ini dilakukan. Pesan refleksi utama yang hendak secara tegas
disampaikan disini adalah reforma agraria pada dasarnya adalah bukan sekedar agendanya
petani, tapi lebih dari itu adalah agenda kebangsaan. Saat ini sedang kita cari adalah cara
bagaimana agenda bangsa itu bekerja di atas alas kemelut kelembagaan dan perjuangan kongkrit
rakyat untuk mempunyai dan menggarap tanah, dan mengelola kekayaan alam dengan aman dan
nyaman.
Perjalanan Panjang Berliku Reforma Agraria di Indonesia
Di dalam sejarah Indonesia sendiri, agenda Reforma Agraria memiliki perjalanan yang
panjang, berjalinan dengan pembentukan bangsa dan negara. Elan kebangsaan yang dahulu
tumbuh dan ditumbuhkan dari alas pengalaman penderitaan kolektif di bawah imperialisme dan
kolonialisme itu, telah menjadi dasar bagi dijalankannya program-program reforma agraria di
awal masa dekolonisasi, seperti penghapusan hak istimewa desa-desa perdikan di Banyumas
(UU No. 13/1946), penghapusan hak conversie, hak istemewa sekitar 40 perusahaan tebu di
Surakarta dan Yogyakarta untuk peroleh tanah dan tenaga kerja (UU Darurat No. 13/1948),
legalisasi pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat (UU Darurat No. 8/1954), dan
pelarangan tanah-tanah partikelir (UU No. 1/1958). Elan kebangsaan itulah yang tidak
mengizinkan berlangsungnya struktur agraria yang eksploitatif dan organisasi “negara dalam
negara” yang berjalinan langsung dengan penderitaan kaum tani di desa-desa perdikan, kawasan
vostenlanden dan tanah-tanah pertikelir itu. Elan kebangsaan dan penderitaan kaum petani ini jua
lah yang mendasari pembentukan panitia negara untuk menyusun undang-undang agraria
nasional (melalui Surat Penetapan Presiden No 16/1948), yang selama 12 tahun melalui banyak
lika-liku dan pada gilirannya menjadi apa yang kita kenal sekarang dengan nama UUPA 1960,
yang lengkapnya bernama Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria. (Praptodihardjo 1952, Tauchid 1953, Gautama 1973, Soemardjan 1962, Fauzi
1999).
844

