Page 889 - Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria, 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan
P. 889
M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)
publik, serta penghapusan kontrol atas impor, ekspor dan devisa.
Kedua, sepanjang periode yang sama, bangkitnya kembali suatu generasi baru gerakan-gerakan
sosial pedesaan. Dengan sangat menyadari perbedaan asal-usul dan cara bagaimana gerakan-
gerakan itu menampilkan dirinya, titik berangkat pemahaman kita dapat dimulai dari kerangka
besar proses penghilangan dunia pedesaan, agraria dan petani (deruralization, deagrarianization and
depesasantization processes), yang dilakukan melalui bentuk-bentuk urbanisasi yang umum, dan
masuknya perkebunan-perkebunan skala raksasa, perusahaan ekstraksi sumber daya alam
(tambang, hutan, dll), industri manufaktur, perluasan kawasan industri dan permukiman, dan
lainnya, ke pedesaan. Araghi mengemukakan istilah global depeasantisation untuk gejala
“meningkatnya jumlah orang yang tadinya terlibat dalam pertanian … dalam waktu yang cepat
dan dalam jumlah besar-besaran menjadi terkonsentrasi di wilayah perkotaan” (1995:338).
Seperti yang dilaporkan World Population Prospects (1988), di negara-negara Asia, Afrika dan
Amerika Latin – yang pada dalam konteks perang dingin diistilahkan “Dunia Ketiga” –
penduduk yang hidup di kota mencapai 41 persen di tahun 2000, melonjak cepat dari 16 persen
di tahun 1950 (Araghi 1995). Sejarawan kondang Hobsbawm adalah penyuara dari golongan
yang menganggap petani akan lenyap, seperti yang ditulisnya dalam karya klasik Age of Extremes
bahwa “… perubahan yang sangat dramatis dari paruh kedua abad ini, dan sesuatu yang
memutus hubungan kita dari dunia masa lalu, adalah the death of the peasantry, kematian petani
(yang merupakan mayoritas penduduk manusia sepanjang sejarah yang diketahui)
(Hobsbawm,1994: 288-9, 415). Kenyataan ini diperparah oleh ”penerapan kebijakan-kebijakan
penyesuaian struktural (structural adjustment policies) dan liberalisasi pasar skala dunia akan terus
memberi akibat pemusnahan (dissolving effect) kehidupan petani” (Bryceson dkk 2000: 29),
sebagai mana yang ditunjukkan oleh penelitian-penelitian perubahan agraria di Asia, Afrika dan
Amerika Latin di akhir abad 20.
Ketiga, adalah suatu faktor kesempatan politik yang terbuka, yang memungkinkan diangkutnya
agenda akses atas tanah ke dalam arena-arena pembuatan kebijakan publik di tingkat lokal,
nasional dan global. Perubahan struktur kesempatan politik memberi sinyal dan peluang bagi
angkai aksi kolektif tertentu. Tentunya, tiap-tiap aksi kolektif tertentu niscaya menghadapi
struktur kesempatan politik yang tertentu pula. Adalah tidak mungkin menggeneralisir struktur
kesempatan politik yang dihadapi setiap aksi dari gerakan tertentu. Namun, memang ada
perubahan politik utama yang dihadapi oleh masing-masing gerakan pedesaan. Secara umum
pada skala nasional, kesempatan politik bagi aksi-aksi kolektif dan perjalanan gerakan sosial
dapat dibuka oleh tumbangnya rejim apartheid, transisi dari rejim otoritarian atau komunis, dan
adanya berbagai partai politik yang membutuhkan legitimasi dan dukungan mayoritas penduduk
pedesaan. Sedangkan pada tingkat global, kesempatan politik itu dapat dibuka melalui
perubahan kepemimpinan, kebijakan, orientasi teori dan agenda pembangunan badan-badan
internasional.
Penyelidikan atas pemanfaatan kesempatan-kesempatan politik yang tersedia itu, diketahui
bahwa bentuk umum dari aksi-aksi kolektif dari gerakan pedesaan saat ini berbeda nyata dengan
yang dilakukan gerakan-gerakan yang berkembang di masa kolonial maupun di masa ketika land
reform berjaya di tahun 1960an-1970-an. Petras (1998), yang menuliskan bahwa ”Gerakan-
gerakan petani kontemporer tidak dapat dibandingkan dengan gerakan-gerakan yang terdahulu,
yang tidak juga cocok dengan pandangan umum mengenai para petani yang tidak kemana-mana,
buta huruf dan tradisional yang berjuang demi “tanah untuk penggarap.” Webster (Webster,
842

