Page 892 - Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria, 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan
P. 892
Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007
Sayangnya karya monumental bangsa (UUPA 1960) itu, ruang dan program penerapannya
menyempit pada sektor pertanian rakyat dengan pengaturan perjanjian bagi hasil agar lebih adil
(UU No. 2/1960), pembatasan penguasaan tanah maksimum dan minimum (UU No.
56/PRP/1960), dan cara pelaksanaan redistribusi tanah objek land reform, yakni tanah
kelebihan, tanah absentee, tanah swapraja dan tanah negara lainnya (PP 224/1960). Sistem
agraria dan kawasan perkebunan dan kehutanan yang seyogyanya dikenai program reforma
agraria berhasil menghindarkan diri dan selamat dari peluruhan yang dilakukan politik agraria
dan pergerakan rakyat pada saat itu. Tenaga rakyat petani yang didorong oleh rasa pemenuhan
keadian sosial itu telah digerakkan secara politik untuk berhadapan frontal dengan para tuan
tanah. Yang kemudian terjadi adalah penciptaan perjuangan kelas di pedesaan di keseluruhan
Jawa dan Bali, serta sebagian Sumatera dan Nusa Tenggara. Penyederhanaan dan penyempitan
hubungan sosial dan kebudayaan menjadi sekedar hubungan kelas belaka memungkinkan
masing-masing aliran ideologi dan pengelompokan politik menemukan arena pertarungannya
secara nyata di pedesaan (Lyon 1976, Utrecht 1969, Mortimer 1972). Kelembagaan dan desain
penerapan land reform – seperti panitia pendaftaran tanah desa-demi-desa, panitia land reform
2
hingga pegadilan land reform – pun menjadi arena dari pertarungan itu. Walhasil, yang
terbentuk adalah suatu “bara” bagi percik api pertarungan elite nasional yang di tahun 1965-
19966 berujung pada peralihan politik yang brutal dan sangat dramatis dari rejim yang kemudian
dijuluki “Orde Lama” ke rejim “Orde Baru” (Cribb 1990, 2001, 2002, Fauzi 1999).
Selanjutnya, di bawah masa konsolidasi kekuasaan orde yang baru, agenda redistribusi
kekayaan jelas dikeluarkan dari perancangan strategi pembangunan. Agenda itu akan akan
memporak-porandakan koalisi politik antara militer, elite-elite partai politik kanan, teknokrat
pro-kapitalime Barat, petani-petani penguasa tanah luas, dan segelintir pengusaha modal besar
bangsa pribumi dan asing. Koalisi ini lah yang menjadi sandaran dari strategi pembangunan
agraria yang baru (Mas’oed 1983, 1989, Utrecht 1973). Politik agraria dan pengelolaan sumber
daya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral
sepanjang 32 tahun (Husken and White 1989, Kasim dan Suhendar 1996, Fauzi 1977, 1999,
Farid 2005).
Keterputusan perjalanan reforma agraria itu, dan selanjutnya pilihan model pembangunan
itu menyebabkan terciptanya berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang kronis, kesemerawutan
tata penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, kerusakan lingkungan dan konflik agraria
yang berkepanjangan (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Kesemua pusaka itu, yang mungkin
saja dapat diwakili dalam konsep “ketidakadilan agraria dan lingkungan” semakin diperhebat
dengan cara penanganan dan pemulihan krisis ekonomi yang berlangsung semenjak 1997
sampai 2004, bahkan hingga sekarang. Yang merebak di kalangan rakyat dan pimpinan lokal di
banyak daerah adalah sentimen “anti-negara”, sebagai proksi dari anti-praktek rejim Orde Baru,
dan merebaknya etno-nasionalime. Ironisnya, instrumen-instrumen pembentukan negara yang
demokratis dan terdesetralisir saat ini belum sanggup mendekatkan perjuangan keadilan sosial
dan lingkungan itu dengan pembentukan rasa kebangsaan. Kontras dengan hal itu, yang terjadi
adalah suatu pendalaman integrasi sumberdaya alam dan tenaga kerja rakyat ke dalam sirkuit
kapital modal internasional, yang saat ini telah sampai pada apa yang dirumuskan oleh Karl
2 Dalam suasana demikian, tidak heran bila Ladejinsky (1961) menyatakan “I am almost inclined to to view that it is
essentially an anti-land redistribution program, although I am certain that it was not planned that way originally”
(Walinsky 1977:298)
845

