Page 14 - Ayah - Andrea Hirata
P. 14

Purnama



            Kedua Belas










            MALAM senyap, tak ada suara kecuali bunyi kafilah-kafilah
            angin berembus dari selatan, menampar-nampar atap rum-
            bia, menyelisik daun delima, menjatuhkan buah kenari, me-
            nepis permukaan Danau Merantik, menyapu  padang, lalu
            terlontar jauh, jauh ke utara.  Sesekali burung-burung pipit

            yang tidur di gulma terbangun, bercuit-cuit berebut tempat
            tidur, lalu senyap lagi.
                 Meski tersembul di antara gumpal awan April, purnama
            kedua belas terang benderang. Begitu terang sehingga Sabari

            yang duduk sendiri di beranda, sedih, kesepian, dan merana,
            dapat melihat gurat nasib di telapak tangan kirinya. Tangan
            kanannya erat menggenggam pensil.
                 Tak ada yang dapat dipahaminya, telapak  tangannya
            adalah anak-anak sungai yang tak tentu mana hulu mana hi-

            lirnya. Sabari terombang-ambing di riaknya, timbul, tengge-
   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19