Page 16 - Ayah - Andrea Hirata
P. 16
Ayah ~ 3
kerap mengalami perlakuan represif darinya adalah sumber
wibawa, sekaligus kebahagiaannya, satu-satunya.
Marlena, oh, Marlena, perempuan yang telah membuat
Sabari senewen karena kasmaran. Cinta pertamanya, belah-
an jiwanya, segala-galanya. Sayang seribu sayang, tak sedikit
pun Lena mengacuhkannya. Gambar-gambar hitam putih,
karena sudah lama tentu saja, silih berganti melayang dalam
kepala lelaki lugu yang melankolis itu. Gambar waktu Sabari
mengambil saputangan Lena yang jatuh di lapangan upacara.
“Siapa yang menyuruhmu mengambilnya?! Siapa?! Aku
bisa mengambilnya sendiri!” Padahal, Sabari menyerahkan-
nya tak kurang khidmat dari cara Paskibra Kabupaten me-
nyerahkan bendera.
“Buku tulis untukmu, Lena,” kata Sabari selembut
mungkin, malu dan gugup. Buku itu adalah hadiah harap-
an tiga lomba menulis puisi tingkat pelajar, prestasi tertinggi
Sabari. Dia ingin Lena bangga kepadanya. Tak usah ya, kata
Lena.
Maka, Sabari gelisah, lalu kecewa, lalu menderita. Ten-
tu kemudian khalayak ramai tak habis pikir melihat seorang
lelaki hanya terpaku pada satu perempuan, tak dapat dibelok-
belokkan ke perempuan lain, seolah dunia ini hanya selebar
saputangan Lena.
Kawan dekat Sabari, yakni Maulana Hasan Magribi—
lahir saat azan Maghrib—biasa dipanggil Ukun dan Mus-
tamat Kalimat, biasa dipanggil Tamat, berkali-kali mengi-

