Page 116 - Sejarah Nasional Indonesia
P. 116
melalui pertempuran yang cukup sengit pada tanggal 2 Oktober,
Markas Besar Tentara Jepang di Surabaya menyerah kepada rakyat.
Kemudian disusul oleh tentara Jepang di Yogyakarta pada tanggal 7
Oktober 1945. Hal yang sama terjadi pula di kota-kota lainnya.
Otoritas militer Jepang di Jawa, setelah menahan personel
administrasi Belanda, dirasa perlu untuk menggunakan orang
Indonesia di banyak posisi administratif, yang dengan demikian
memberi mereka kesempatan yang telah ditolak di bawah Belanda.
Untuk mengamankan penerimaan rakyat atas pemerintahan mereka,
Jepang juga berusaha untuk mendapatkan dukungan dari para
pemimpin nasionalis dan Islam. Di bawah kebijakan ini, Soekarno dan
Hatta sama-sama menerima posisi dalam administrasi militer.
Meskipun awalnya disambut sebagai pembebas, Jepang secara
bertahap memantapkan diri mereka sebagai tuan. Kebijakan mereka
berfluktuasi sesuai dengan urgensi perang, tetapi secara umum
tujuan utama mereka adalah membuat Hindia Timur melayani
kebutuhan perang Jepang. Para pemimpin nasionalis, bagaimanapun,
merasa dapat menukar dukungan dengan konsesi politik. Soekarno
mampu meyakinkan pemerintah bahwa dukungan Indonesia hanya
dapat dimobilisasi melalui organisasi yang akan mewakili aspirasi
Indonesia yang sejati. Pada bulan Maret 1943 organisasi semacam itu,
Putera (Pusat Tenaga Rakjat), diresmikan di bawah keketuaannya.
Sementara organisasi baru memungkinkan Soekarno untuk
memantapkan dirinya lebih jelas sebagai pemimpin negara yang
muncul, dan sementara itu memungkinkannya untuk
mengembangkan jalur komunikasi yang lebih efektif dengan rakyat,
itu juga menempatkan kepadanya tanggung jawab untuk
mempertahankan dukungan Indonesia untuk Jepang melalui, di
antara perangkat lainnya, romusha (kerja paksa). Kemudian pada
tahun itu, pendapat Indonesia diberi forum lebih lanjut di Dewan
Dr. Ika Farihah Hentihu, M.Pd. 107

