Page 23 - E-Modul Sejarah Perjuangan R.M Tirto Adhi Soerdjo
P. 23
cetak, akan tetapi dalam perkembanganya program kerja yang teralisasi hanyalah diterbitkannya
media cetak yang bernama Sarotomo dibawah pimpinan Martodharsono sebagai redaktur.
Pada pertengahan tahun 1912, kabar akan Revolusi Tiongkok tedengar hampir diseluruh
Hindia Belanda. Hal itu mengakibatkan terjadinya penekanan harga beli batik oleh perusahaan-
perusahaan batik milik orang Tionghoa kepada para pengrajin batik Pribumi, di Surakarta. Aksi
tersebut memicu kemarahan Sarekat Dadang Islamiyah (SDI) Surakarta yang kemudian
melakukan aksi boikot terhadap perusahaan batik kaum Tionghoa karena merasa dirugikan.
Semenjak itu keributan antara Sarekat Dadang Islamiyah (SDI) Surakarta dengan etnis Tionghoa
di Surakarta semakin sering terjadi. Hal itu diperparah dengan peristiwa terbunuhnya orang
pribumi oleh orang Tionghoa.
Sepanjang bulan Juni dan Juni 1912, konflik antara pribumi dan tionghoa semakin,
sehingga membuat SDI solo melakukan perekrutan anggota dalam jumlah yg besar. Hal itu
membuat anggota SDI semakin bertambah menjadi 35.000 orang pada bulan Agustus 1912
menurut laporan asisten residen surakarta. Di tangan Haji Samanhoedi SDI cabang Solo kian
besar dan banyak membuka cabang di berbagai daerah, seperti pendirian SDI cabang Surabaya
yang dimotor oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Sementara itu, pada tanggal 23 Agustus 1912 pengadilan kolonial menghentikan
penerbitan Medan Prijaji karena memiliki utang yang besar, hal ini yang kemudian membuat
hunbungan antara SDI Bogor yang diketuai Tirto Adhi Soerjo dan SDI Solo yang diketuai Haji
Samanhoedi putus total. Begitu juga dengan Samanhoedi bersama Tjokroaminoto yang merubah
anggaran dasar awal yang disusun oleh Tirto Adhi Soerjo diubah dengan anggaran dasar baru.
Selain itu, Tjokroaminoto juga berinisiatif untuk mengganti Sarekat Dagang Islamiyah (SDI)
menjadi Sarekat Islam (SI).
Tirto Adhi Soerjo ialah sosok penggerak organisasi pribumi yang tidak pernah berhenti
untuk berjuang dalam memberikan penyadaran bagi rakyat melawan penindasan yang dilakukan
oleh pemerintah kolonial Belanda kepada kaum pribumi. Baginya, dalam mendobrak dan
meruntuhkan tembok kolonialisme, tidak harus berperang menggunakan senjata namun dengan
cara mendirikan organisasi pergerakan dan menyerukan suaranya lewat media cetak.
14