Page 25 - Modul Sejarah Lokal Tokoh Perjuangan Lampung
P. 25
14
Istilah lainnya yang berkembang di masyarakat ialah pembagian dua jenis pajak,
yaitu "Pajak Palembang‟ dan "Pajak Teluk Betung‟. Pajak Palembang berarti wajib
pajak membayar pajaknya ke Palembang, begitu juga sebaliknya bagi pajak Teluk
Betung. Pajak Palembang dianggap memiliki gengsi yang lebih tinggi daripada pajak
Teluk Betung. Hal itu karena pajak Palembang selain jaraknya yang lebih jauh dan
membutuhkan dana besar untuk ongkos perjalanan, tambahan pula nominal yang lebih
besar jika dibandingkan membayar pajaknya ke Teluk Betung. Maka melalui slogan-
slogan provokatif Belanda itu, mereka berlomba-lomba membayar pajak dengan
jumlah besar ke Palembang, dan kemudian berbanggalah menjadi lelaki gagah. Bahkan
F.G. Steck menyatakan, rasa bangga yang berlebihan menjadikan mereka sangat rentan
terhadap pujian (Steck, 1862).
Belanda memanfaatkan budaya puji-pujian dan sikap terbuka masyarakat
Lampung (nemui nyimah) untuk memperkuat posisinya. Nilai keterbukaan ini
membuat ulun Lampung mudah bergaul dan menerima kehadiran pihak luar, termasuk
Belanda, yang ditunjukkan dengan berdirinya benteng-benteng di berbagai wilayah.
Petinggi pribumi kerap mendatangi benteng tersebut untuk berkonsultasi terkait
keamanan dan sengketa, sementara kunjungan pejabat Belanda ke kampung-kampung
disambut meriah layaknya sebuah pesta. Menurut kontrolir G.J. Harrebomee, sambutan
hangat semacam ini bahkan jarang ditemukan di daerah lain di luar Jawa (Harrebomee,
1885).
Dalam kasus persengketaan, masyarakat Lampung sering lebih menerima
keterlibatan pihak luar seperti Banten atau Belanda sebagai penengah dibanding
keputusan perwatin, karena dianggap lebih adil dan mengikat (Canne, 1862; Ota,
2003). Namun, meskipun sebagian masyarakat mulai menaruh kepercayaan hukum
pada Belanda, banyak kepala marga tetap mempertahankan kedaulatan adat sebagai
wujud piil (harga diri dan kemerdekaan) serta menjunjung nilai nemui nyimah
(silaturahmi). Karena sikap ini, Belanda berkali-kali menggunakan kekuatan militer
untuk menundukkan perlawanan masyarakat Lampung.(Ota, 2003).

