Page 37 - Fikih MI Kelas VI
P. 37

Artinya:
                        Dari Salman al-Farisi, Rasulullah bersabda, “... Halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah
                        dalam kitab-Nya dan haram adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, dan sesuatu
                        yang tidak dijelaskan-Nya maka itu termasuk yang dimaafkan sebagai kemudahan bagi kamu.”
                        (HR. Ibnu Majah)



                                       Tokoh

                                   Abu Dzar al-Ghifari

                        Di antara para sahabat yang mulia, tersebutlah Abu Dzar al-Ghifari. Sosok ini memiliki nama asli
                        Jundub bin Junadah bin Sakan. Sebelum masuk Islam, ia dikenal sebagai seorang perampok. Mak-
                        lum, kaum tempatnya lahir dan tumbuh besar mencari penghidupan dengan cara merampok.
                            Namun, sejak kecil hingga remaja Jundub cenderung pada kebenaran. Ia membenci praktik
                        ritual penyembahan terhadap berhala-berhala. Karena itu, begitu mengetahui adanya seorang
                        Nabi di tengah bangsa Arab, ia pun langsung menuju ke kota yang dimaksud. Di Mekah, ia
                        berjumpa dengan Rasulullah Muhammad saw. dan seketika menyatakan diri Muslim.
                            Jundub alias Abu Dzar al-Ghifari dengan setia mendampingi Rasul saw., baik di Mekah mau-
                        pun Madinah. Sesudah beliau wafat, Abu Dzar dikenal sebagai seorang yang alim dan menjalani
                        kehidupan zuhud. Pada masa tuanya, ia tinggal di sebuah kampung kecil bernama Rabadzah.
                        Menjelang ajal menjemputnya, ia hanya didampingi istrinya yang menangis tersedu-sedu.
                            “Apa yang kamu tangisi, padahal maut itu pasti datang?’’ tanya Abu Dzar.
                            Istrinya menjawab, “Anda akan meninggal, tetapi kita tak punya sehelai kain pun untuk
                        kafanmu.”
                            Mendengar jawaban itu, Abu Dzar hanya tersenyum. Setelah itu, ia meninggal dunia.
                            Tidak lama kemudian, datanglah serombongan mukminin yang dipimpin sahabat Abdullah
                        bin Mas’ud. Melihat sesosok jenazah sudah terbujur kaku dalam kondisi yang cukup menyedih-
                        kan itu, air mata Ibnu Mas’ud pun meleleh lebat.
                            Rupanya, ia mengenal betul siapa sosok yang wafat itu, seraya berkata, “Benarlah prediksi
                        Rasulullah! Anda berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan sebatang kara!’’
                            Itulah akhir hayat Abu Dzar, sahabat Nabi yang terkenal gemar mengampanyekan hidup
                        sederhana. Sepanjang hayatnya, ia dikenal rewel dan lantang kepada para pejabat yang kerap
                        menyalahgunakan kekuasaan demi menumpuk kekayaan pribadi. Sikap kritisnya sering membuat
                        merah telinga para pejabat saat itu. Pernah suatu ketika, tanpa gentar dan tedeng aling-aling,
                        ia menanyakan harta kekayaan Muawiyah sebelum akhirnya terpilih menjadi Gubernur Suriah.
                        Suriah memang wilayah paling makmur, sekaligus jauh dari Madinah ketika itu.
                            Banyak para pejabat yang berlomba-lomba memiliki gedung dan tanah pertanian di sana.
                        Sambil mengutip Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 24–35, Abu Dzar kerap mengingatkan para
                        pejabat yang bergelimang kemewahan, “Sampaikan kepada para penumpuk harta akan setrika
                        api neraka!’’ Mendengar nasihat ini, Muawiyah resah. Ia merasa terancam dengan kehadiran
                        Abu Dzar. Ia lalu menulis surat kepada Khalifah Utsman untuk meminta agar Abu Dzar dipanggil
                        pulang ke Madinah. Permintaan itu dikabulkan. Abu Dzar pun kembali ke Madinah. Di kota Nabi
                        itu, ia akhirnya dipinggirkan.
                            Demikianlah,  nasib  para  pejuang  yang  lantang  membela  kebenaran  dan  kritis  kepada
                        penguasa–memang  selalu  tragis.  Sejarah  mencatat,  berupaya  keras  memperjuangkan  nasib
                        rakyat lemah sering berakhir dengan keadaan dikucilkan. “Hidup seorang diri, mati seorang
                        diri, dan kelak dibangkitkan seorang diri pula.” Inilah nubuat yang telah disampaikan Nabi saw.
                        perihal sahabatnya yang gemar hidup zuhud dan lugas itu.

                        Sumber: https://bit.ly/3zCqdzj, dengan pengubahan


                                                                    Bab I Makanan Halal dan Haram  19
   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42