Page 44 - Seberkas Asa Di Ujung Kemoceng
P. 44
“Ikut Kegiatan di Sanggar? Seru!”
Muda, enerjik dan antusias adalah gambaran diriku yang bernama
Abdul Robi. Meski berasal dari keluarga sederhana, aku yang akrab
dipanggil Robi tidak malu untuk berekspresi.
Dulu kami pernah hidup berkecukupan. Ayah bersama nenek
memiliki warung bakso yang laris di Karawang. Tapi sejak nenek
meninggal, usaha itu bangkrut. Kami jatuh miskin. Perubahan hidup
yang drastis hampir menghancurkan keluarga kami.
Ayah dan ibu sempat pisah ranjang. Untunglah ada orang tua yang
menyadarkan mereka bahwa keutuhan keluargalah yang penting.
Merekapun bersatu lagi dan sepakat untuk mau menjalani hidup
sederhana. Kami kemudian pindah ke Bekasi. Di sini kedua adik
saya lahir kemudian.
Merekapun hidup dalam keterbatasan. Ayah yang berprofesi
sebagai tukang sampah dan ibu yang bekerja sebagai PRT cuci-
gosok tidak mampu mengirim aku dan kedua adikku ke sekolah yang
lebih tinggi. Aku sangat paham ketika orang tua tidak mampu lagi
membiayai sekolah setelah lulus SD. Aku terpaksa menjadi pekerja
anak di usia 13 tahun. Meski demikian aku sangat menghargai ayah
dan ibu yang telah bekerja keras untuk menghidupi keluarga.
Seperti anak-anak lain yang hanya mengenyam sekolah sampai
bangku SD, aku tidak memiliki banyak pilihan jenis pekerjaan yang
aku butuhkan. Pertama kali aku bekerja di warung makan Padang.
Usiaku waktu itu 13 tahun. Aku memutuskan bekerja karena tidak
ada yang bisa dilakukan setelah berhenti sekolah kecuali bekerja
untuk membantu orang tua memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tak lama bekerja di situ, aku berganti pekerjaan menjadi tukang
antar jemput sekolah anak-anak. Sesekali aku diminta untuk
mencuci mobil dan bersih-bersih kebun dan halaman di rumah
tetangga. Keinginanku untuk maju dan memperbaiki kehidupan
keluarga mendorong aku untuk aktif mencari pekerjaan lain. Aku
34

