Page 25 - ikat ilmu dengan menulisnya
P. 25
25
Saya cuma pernah melihat ada salah satu murid
ayah saya yang memperlihatkan koleksi tumpukan
kertas fotokopian hasil mengaji sekian tahun kepada
ayah saya. Lucunya, ratusan lembar itu pun tidak
dijilidnya. Pas gusuran pindah rumah, lembar-lembar
itu pun raib gak ketahuan lagi dimana.
Sedikit berbeda dengan ibu saya. Beliau sudah
berorientasi kepada teknologi. Komputer yang tiap
hari saya mainkan itu beliau belikan memang
tujuannya untuk menulis naskah buku.
Maka saya boleh mainkan komputer itu dengan
syarat kalau ada proyek penulisan buku, saya harus
bisa menyelesaikan penulisannya, sampai layout,
setting, cover dan seterusnya.
Boleh dibilang saya ini sudah jadi semacam
percetakan atau peneribatan pribadi ibu saya, cuma
bedanya tidak punya mesin cetak saja. Urusan ngetik
naskah, ngedit, ngoreksi, mendesain, melayout, saya
lah yang menghandle. Begitu sampai urusan
mencetak, mulai dari bikin film, plat dan muter pakai
mesin offset, ada percetakan langganan.
Namun apa yang dicetak oleh ibu saya yang
sudah berupa buku, lagi-lagi memang orientasinya
untuk dibagi-bagi di jamaah pengajian.
Jadi kedua orang tua saya itu punya prinsip
bahwa mengaji itu tidak boleh JIPING alias ngaji
nguping. Harus ada kertas atau buku yang bigaikan.
Jamaah harus punya buku, minimal catatan, oleh-
oleh pulang ngaji adalah buku-buku kecil yang
dibagikan.