Page 24 - E-Book Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
P. 24

E-Book Pendidikan Agama dan Budi Pekerti                                     2021



               yang  berbeda  agama  untuk  memecahkan  masalah-masalah  kemanusiaan secara bersama-sama
               semakin menjadi kebutuhan yang tak dapat dihindari. Para pakar ilmu sosial dan teologi agama-
               agama mengemukakan tiga sikap yang tampak dalam hubungan antarumat beragama:


               1.  Eksklusivisme adalah sikap yang memandang agamanya sendirilah yang paling benar dan
                    baik.  Sementara  itu,  agama  lain  adalah  agama  yang  tidak benar.  Para  penganut  paham
                    eksklusif sulit untuk berinteraksi dengan penganut agama lain. Mereka cepat merasa curiga
                    terhadap umat beragama ain. Mereka cenderung hanya bergaul dengan orang yang menganut
                                           l
                    agama,  bahkan  juga  teologi  dan  jalan  berpikir,  yang  sama.  Apabila  semua  agama
                    menonjolkan  klaim-klaim  eksklusifnya,  masih  adakah  kemungkinan  bagi  umatnya  untuk
                    bekerja sama dengan orang lain dengan sepenuh hati?

               2.  Inklusivisme mengakui kepelbagaian agama-agama. Setiap orang mengakui eksistensi
                    agama  dan  penganut  agama  lain.  Masing-masing  saling  menghormati  kedaulatan  serta
                    ajarannya.  Namun,  sikap  inklusif  menyiratkan  bahwa  pada  akhirnya  keselamatan  hanya
                    terdapat  dalam  satu  agama  saja.  Orang  Kristen  yang  inklusif  menyatakan  bahwa
                    keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus. Semua agama lainnya hanyalah embel-embel
                    belaka atau menjadi tahap persiapan bagi seseorang sebelum ia pada akhirnya mengenal
                    “agama  yang  benar”. Tokoh  yang  paling terkenal untuk pendekatan  ini  adalah  Karl  Rahner,
                    seorang  teolog  Jerman  yang  mengatakan,  “Kekristenan  memahami  dirinya  sebagai  agama
                    yang mutlak, yang dimaksudkan untuk semua orang. Ia tidak dapat mengakui agama lain
                    manapun  sebagai  agama  yang  setara  dengan  dirinya.”  Rahner  (baca:  Raner)  menyebut
                    orang-orang  bukan  Kristen  yang  hidupnya  baik,  tulus,  saleh,  sebagai  “orang  Kristen  yang
                    anonim”.  Artinya,  mereka  layak  disebut “Kristen” karena  perilakunya  yang  baik,  tetapi  karena
                    mereka  tidak  memeluk  agama  Kristen,  mereka  menjadi  “Kristen  anonim”.  Pendekatan  ini
                    menimbulkan  masalah.  Apakah  orang-orang  yang  bukan  Kristen  itu  rela  disebut  sebagai
                    “Kristen anonim”? Apakah orang Kristen mau disebut sebagai “Muslim anonim” oleh orang-
                    orang  Muslim  karena  perilakunya  baik  di  mata  mereka?  Maukah  mereka  disebut  sebagai
                    “Hindu  anonim”  atau  “Buddhis  anonim”  dengan  alasan  yang  sama?  Dapatkah  kita
                    membangun kerukunan antarumat beragama dengan sikap seperti ini?
               3.  Pluralisme.  Daniel  S.  Breslauer  menyebut  pluralisme  sebagai:  “Suatu  situasi  di  mana
                    bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai  dan  dilandasi
                    kesatuan  rohani  meskipun  mereka  berbeda.” Dengan sikap pluralis, orang berupaya mencari
                    titik  temu  bagi  agama-agama.  Titik  temu  bagi  terciptanya  dialog  dan  kerja  sama  adalah
                    kebersamaan setiap pemeluk agama dalam menghadapi serta memecahkan masalah-masalah
                    kemanusiaan bersama.


                    Dalam pluralisme perbedaan antara agama-agama diakui, namun bukan untuk diadu domba
               melainkan dicari titik-titik perjumpaannya yang diisi sikap saling menghargai dan kesatuan. Jadi,
               pada  dasarnya  pluralisme  tidak menolak  perbedaan,  yang  ditolak  adalah  membeda-bedakan
               agama dan ajarannya yang berujung pada ketidakrukunan.

                    Pluralisme  tidak  berarti  mempersamakan  semua  agama.  Atau  seperti  yang sering  dikatakan
               orang,  “Semua  agama  itu  sama  saja.”  Sebaliknya,  pluralisme  mengakui bahwa  agama-agama itu
               saling berbeda semuanya. Namun, justru karena berbagai perbedaan yang ada itulah, kita didorong
               untuk  membangun jembatan  penghubung  untuk  saling  menolong,  saling  menghargai  dan
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29