Page 13 - adab-bersin
P. 13

Aku Ingin Anak Lekakiku Menirumu


                       Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya:

               “Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”


                       Suamiku menjawab:


               “Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.”

                       Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku
               berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di
               rumah Lalu kubilang pada suamiku:

               “Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”


                       Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata:

               “Oh ya. Ide bagus itu.”

                       Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa
               lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk
               pada  dirinya  seraya  berkata:  Ammat!  Maksudnya  ia  Ahmad.  Kami  berdua  sangat  bahagia
               dengan kehadirannya.

                       Ahmad  tumbuh  jadi  anak  cerdas,  persis  seperti  papanya.  Pelajaran  matematika
               sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan
               keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.


                       Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami
               semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke
               punggung  papanya.  Entah  apa  yang  menyebabkan  papanya  begitu  berang,  mungkin
               menganggap  Ahmad  sudah  sekolah,  sudah  terlalu  besar  untuk  main  kuda-kudaan,  atau
               lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya
               merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.

                       Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak
               lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan
               menyampaikan  alasanku.  Ia  sedang  menyelesaikan  papernya  dan  tak  mau  diganggu  oleh
               urusan seremeh itu, katanya.


                       Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai
               dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku
               itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:

               “Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!”

                       Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.



                                                           13
   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18