Page 14 - adab-bersin
P. 14

“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”

                       Di  tanganku,  terajut  ruang  dan  waktu.  Terasa  ada  yang  pedih  di  hatiku.  Ada  yang
               mencemaskan aku.


                       Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.
               Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah
               sambil berteriak menghentak,


               “Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!”

                       Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.


                       Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera
               membersihkan  dirinya  di  kamar  mandi.  Aku,  wanita  tua,  ruang  dan  waktu  kurajut  dalam
               pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini.
               Pecahlah  tangisku  serasa  sudah  berabad  aku  menyimpannya.  Aku  rebut  koran  di  tangan
               suamiku dan kukatakan padanya:


                       “Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak
               ia  merangkak  di  punggungmu!  Dan  ketika  aku  minta  kau  perbaiki,  kau  bilang  kau  sibuk
               sekali.  Kau  dengar?  Kau  dengar  anakmu  tadi?  Dia  tidak  suka  dipipisi.  Dia  asing  dengan
               anaknya sendiri!”


                       Allahumma  Shali  ala  Muhammad.  Allahumma  Shalli  alaihi  wassalaam.  Aku  ingin
               anakku menirumu, wahai Nabi.


                       Engkau  membopong  cucu-cucumu  di  punggungmu,  engkau  bermain  berkejaran
               dengan  mereka  Engkau  bahkan  menengok  seorang  anak  yang  burung  peliharaannya  mati.
               Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu,


                       “Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang
               putus di kepalanya?”


               Aku memandang suamiku yang terpaku.
               Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam.
               Kupandangi keduanya, berlinangan air mata.
               Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?
               Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa
               tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan
               seorang ayah yang didamba.
               Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua,


                       “Lakukanlah  ini,  permintaan  seorang  yang  akan  dijemput  ajal  yang  tak  mampu
               mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.


                       Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi
               keturunan.






                                                           14
   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19