Page 204 - Buku 9
P. 204
diarahkan dan diikat dalam sistem desa itu. Dengan kalimat
lain, desa menjadi basis bermsyarakat, berpolitik, berpe-
merintahan, berdemokrasi dan berpembangunan. Pola ini
akan mengarah pada pembangunan yang digerakkan oleh
desa (village driven development), yang bersifat kolektif,
inklusif, partisipatif, transparan dan akuntabel.
Pendampingan desa tidak boleh dilaksanakan
dan dikendalikan secara sentralistik dari Jakarta
melainkan harus terdesentralisasi dan terlokalisasi
di ranah kabupaten, kecamatan dan desa. Selain itu
pendampingan juga tidak boleh membentuk struktur para-
lel seperti yang selama ini dijalankan oleh PNPM Mandiri.
Jakarta tidak boleh mengendalikan pendampingan dengan
Petunjuk Teknis Operasional (PTO), tetapi cukup member-
ikan pedoman umum, arah kebijakan dan modul standar.
PTO yang lentur bisa dibuat oleh kabupaten/kota, keca-
matan menjadi ruang berkumpul para pendamping yang
dikoordinasi oleh camat dan aparatanya. Desa juga mempu-
nyai kewenangan untuk belanja keahlian dan pendamping.
Pendampingan tidak bersifat seragam dan kaku
tetapi harus lentur dan kontekstual. Indonesia sudah
berpengalaman dalam pendampingan, sebagaimana dilaku-
kan oleh PNPM Mandiri Perdesaan. Namun pendampingan
ala PNPM Mandiri cenderung seragam dan kaku yang diken-
dalikan secara ketat dengan Petunjuk Teknis Operasional
(PTO). Pendampingan tentu harus lentur dan kontekstual,
yakni tergantung pada kondisi dan kebutuhan lokal. Untuk
menjaga kelenturan dan kontektualitas itu, PTO yang dic-
IDE, MISI DAN SEMANGAT UU DESA 203

