Page 15 - Proyek E-Book Interaktif 1
P. 15
dengan Hindia Belanda apabila
pemerintah kolonial itu masih menindas
rakyat, namun Tjarda tidak terlalu
menanggapi dan masih menerima
kedatangan Kobayashi sebagai utusan
Jepang. Audiensi dengan Kobayashi tidak
menghasilkan sesuatu yang memuaskan,
termasuk misi diplomatic selanjutnya
yang dilakukan oleh Kenkichi Yoshizawa.
Yoshizawa mengharapkan Hindia
Belanda meningkatkan kuota ekspor
bahan mentah terutama minyak dan
karet mengingat kondisi ekonomi Jepang
yang tertekan akibat embargo Amerika
Serikat, namun Hindia Belanda memilih
untuk menolak keinginan Yoshizawa. Penolakan Hindia Belanda sebenarnya didasarkan
pada kebijakan pengurangan produksi karet tahun 1936, meskipun kebijakan ini
memperkuat posisi politik Hindia Belanda di mata internasional (menghindarkan
anggapan defaitis) namun kebijakan ini memperburuk hubungan pemerintah kolonial
dengan bumiputera. Kebijakan pembatasan produksi karet menyebabkan ekonomi
bumiputera menurun, terutama yang mengandalkan penghasilan dari produksi karet.
Hubungan diplomatik antara Jepang dan Hindia Belanda berakhir pada bulan Juli tahun
1940 setelah misi terakhir Yoshizawa gagal dalam meyakinkan Hindia Belanda untuk
meningkatkan kuota ekspor, selain itu berakhirnya hubungan ini diduga diakibatkan dari
pernyataan Menlu Jepang, Yosuke Matsuoka yang mengklaim Hindia Belanda sebagai
bagian dari wilayah persemakmuran Jepang. Pernyataan Matsuoka bagi Tjarda
menandakan bahwa tak lama lagi Hindia Belanda akan terlibat perang besar dengan
Jepang.
Tjarda yang menyadari akan potensi bahaya perang segera menghubungi
pemerintah Belanda untuk menyampaikan pendapatnya mengenai pemberian
kemandirian koloni yang bertujuan guna menarik simpati dan dukungan rakyat terutama
pribumi. Tjarda beranggapan simpati dan dukungan pribumi sangat penting dalam
kondisi genting guna mempertahankan koloni Hindia Belanda.. Sayangnya, usulan itu
segera ditolak dengan alasan pemerintah Belanda enggan kehilangan koloninya yang
paling bernilai baik secara ekonomi maupun politik, terlebih posisi Belanda yang sedang
tidak di dalam wilayahnya sendiri. Tjarda kemudian berusaha menenangkan golongan
pergerakan yang bersifat radikal yang tergabung ke dalam GAPI namun dengan segera
Tindakan Tjarda menuai kecaman. Tjarda kemudian mengusulkan kepada pemerintah
Belanda untuk membawa Ratu Wilhelmina ke Hindia Belanda guna meningkatkan moral,
kepercayaan dan simpati masyarakat terutama Pribumi, mengingat beberapa golongan
Pribumi seperti dr. Tjipto, penguasa Vorstenlanden dan Agus Salim mendukung
eksistensi Hindia Belanda dan siap berdiri di belakang Ratu. Tjarda juga melihat bahwa
pidato Ratu Wilhelmina yang berjudul Vlammend Protest yang berisikan kecaman
terhadap pendudukan Jerman atas Belanda, Belgia dan Luksemburg mendapatkan