Page 58 - KOTA CERDAS BERBASIS KEBUDAYAAN
P. 58

semata.  Manusia  pragmatis  tak  mau  repot-repot  memikirkan  masalah-masalah
           kebenaran, sistem nilai, dan filsafat, apalagi hal-hal yang bersifat metafisis.
                Pragmatisme dalam pembangunan smart city terlihat dari orientasinya untuk
           membuat hidup masyarakat semakin mudah, nyaman, senang, nikmat, sejahtera, dan
           bahagia.  Jika  pencapaian-pencapaian  itu  saja  yang  menjadi  parameter  keberhasilan,
           smart city hanya akan menjadikan kota berteknologi cerdas tetapi tidak berpenduduk
           cerdas. Sebab, cerdas itu lebih dari sekedar fasih menggunakan smartphone. Semakin
           canggih  (cerdas)  IT  yang  diciptakan,  penggunanya  justru  semakin  tidak  perlu
           menguras otak karena beragam surplus kemudahan teknis yang diberikan.
                Mari kita renungkan ulang. Salah satu aplikasi smart city mungkin akan sangat
           memudahkan penduduk sehingga tidak perlu pusing dan repot saat mengurus urusan-
           urusan  kependudukan.  Semua  proses  rumit  berjenjang  cukup  dilakukan  melalui
           smartphone dalam genggaman tangan kita. Lantas, apakah hal itu membuat penduduk
           lebih  cerdas?  Dulu,  kita  harus  mencari  Pak  RT,  Pak  RW,  lalu  antre  di  kelurahan,
           berdialog  dengan  Pak  Lurah,  dan  melewati  beragam  interaksi  sosial  lainnya  saat
           mengurus ini dan itu. Bukankah hal itu justeru membuat kita punya kecerdasan social
           (social  intelligent)?  Bukankah  hal  itu  melatih  kecerdasan  emosional  (EQ)  dan
           kecerdasan  adversiti  (AQ)  kita?  Digitalisasi  bukan  hanya  desruptif  bagi  system
           pekerjaan  yang  dulu  melibatkan  aktivitas  banyak  orang,  tetapi  juga  mengganggu
           proses belajar masyarakat untuk memiliki kecerdasan interpersonal dan intrapersonal.
                Faktanya,  kehadiran  teknologi  cerdas  terkadang  justeru  membuat  manusia
           berpikir  dan  berperilaku  tak  cerdas.  Dulu  pada  awal-awal  teknologi  internet
           diciptakan, umat manusia memanfaatkannya untuk membangun interaksi sosial yang
           relatif positif. Sekarang manakala teknologi media digital begitu canggih, medsos dan
           media  online  justru  menyuburkan  hoax,  ujaran  kebencian,  cyber  bullying,  cyber
           radicalism,  dan  cyber  terrorism.  Dulu  internet  membangun  interaksi  di  dalam
           keberagaman. Sekarang internet jadi alat eksklusi sosial dan sarana provokasi konflik
           sosial.
                Manusia ternyata lebih bodoh dari laba-laba. sebab tak pernah ada laba-laba
           membuat  jaring  namun  terjerat  dalam  jaringnya  sendiri.  Adapun  manusia
           menciptakan jejaring budaya yang disebut Clifford Geertz sebagai jejaring makna (the
           web of significance) yang jadi bumerang karena menghegemoni dirinya.
                Karena  itu  para  peneliti  budaya  mengembangkan  istilah  “peradaban”
           (civilization). Arnold Toynbee (1965) mendefinisikan peradaban sebagai kebudayaan

                                        57
   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63