Page 216 - Mereka yang dikalahkan Perampasan Tanah dan Resistensi Masyarakat Pulau Padang
P. 216
190 M. Nazir Salim
sehingga masa depan hutan alam Indonesia cukup mencemaskan.
Catatan Forest Watch Indonesia (FWI) atas laju deforestasi dari tahun
ke tahun tetap sama, dan dipekirakan 10 tahun ke depan kita akan
kehilangan hutan alam. Riau, jika tata kelola hutannya tidak berbenah,
diperkirakan menjadi salah satu yang diramalkan dalam lima tahun
ke depan sudah tidak lagi memiliki hutan alam, yang tersisa hanyalah
kebun kayu, hutan buatan ala korporasi. Fenomena hancurnya hutan
alam Riau menjadi topik yang banyak disorot oleh berbagai lembaga,
baik di dalam negeri maupun asing, intinya masa depan hutan Riau
masuk dalam skema terburuk di Sumatera.
Laju penggundulan hutan terus berlanjut akibat kebutuhan
suplai pasar akan bahan baku kertas, dan apa yang selama ini terjadi
pada Riau daratan kini sudah merangsek wilayah Riau pinggiran
(pulau). Hutan alam gambut yang seharusnya dilindungi pun, oleh
negara “digadaikan” kepada korporasi atas nama pembangunan.
Salah satunya Pulau Padang yang dikonsesikan sejak 2009 dan
menimbulkan gejolak di masyarakat karena wilayah Pulau Padang
dengan permukaan rendah sekaligus hutan gambut yang rentan.
PT RAPP yang selama ini menguasai 300an ribu hektar lahan di
Riau daratan kini mulai merambah wilayah kepulauan, dan sebuah
pulau kecil Pulau Padang menjadi targetnya. Beruntung warga
Pulau Padang bukanlah warga yang dengan mudah dikooptasi,
terbukti melakukan perlawanan yang cukup gigih. Sekalipun tidak
berhasil “mengusir” RAPP, setidaknya memberikan pelajaran
penting sekaligus memukul mundur langkahnya. Perlawanan petani
berhasil, konsesi dikurangi dan kebijakan direvisi. Sejauh catatan
sejarah, baru di Pulau Padang RAPP mendapat perlawanan yang
cukup keras dan menyentakkan.
Di bawah ini ungkapan para petani Pulau Padang yang
menggambarkan karakter sekaligus jati diri warga Pulau Padang
yang tidak pernah berhenti dan lelah untuk terus melawan.