Page 7 - PERTEMUAN 7A
P. 7

dan masih lama bertindak seperti pada abad-abad sebelumnya. Luther juga menyerang umat yang
                        setia kepada Paus. Tuntutannya semakin radikal. Persatuan Gereja tidak dicari lagi, bahkan diboikot.
                        Para bangsawan yang mendukungnya tidak tertarik pada persatuan kembali, karena antara lain milik
                        gerejani yang mereka rampas tidak mau mereka kembalikan. Unsur keagamaan, politis, dan pribadi di
                        kedua belah pihak menyulitkan persatuan kembali. Reformasi selesai; umat terpecah-belah ke dalam
                        kelompok Katolik, Luteran, Kalvinis, Anglikan, dan sebagainya.
                        2)  Gereja Kalvinis
                        Tokoh reformasi lain adalah Yohanes Calvin (1509 – 1564). Tokoh ini tidak jauh berbeda dengan
                        Luther. Ia ingin memperbaharui Gereja dalam terang Injil. Calvin dalam bukunya yang berjudul
                        “Institutio Christianae Religionis”  menggambarkan Gereja dalam dua dimensi, yakni Gereja
                        sebagai persekutuan orang-orang terpilih sejak awal dunia yang hanya dikenal oleh Allah dan
                        Gereja sebagai kumpulan mereka yang dalam keterbatasannya di dunia mengaku diri sebagai
                        penganut  Kristus  dengan  ciri-ciri  pewartaan  Injil  dan  pelayanan  sakramen-sakramen.
                        Pengaturan Gereja ditentukan oleh struktur empat jabatan, yakni pastor, pengajar, diakon, dan
                        penatua.
                        3)  Gereja Anglikan
                        Anglikantisme bermula pada pemerintahan Henry VII (1509 – 1547). Di Inggris raja Henry VII
                        menobatkan  dirinya  sebagai  kepala  Gereja  karena  Paus  di  Roma  menolak  perceraiannya.
                        Anglikantisme menyerap pengaruh reformasi, namun mempertahankan beberapa corak Gereja
                        (Uskup – Imam – Diakon), sehingga berkembang dengan warna yang khas.
                        Reaksi dari Gereja Katolik  Roma atas gerakan reformasi ini adalah “Kontra-Reformasi” atau
                        “Gerakan  Pembaharuan  Katolik”.  Gerakan  pembaharuan  ini  dimulai  dengan  menyelenggarakan
                        Konsili Trente. Melalui Konsili Trente (1545–1563), Gereja Katolik berusaha untuk
                        a)  “Menyingkirkan kesesatan-kesesatan dalam Gereja dan menjaga kemurnian Injil”.
                        b)   Konsili  juga  menegaskan  posisi  Katolik  dalam  hal-hal  yang  disangkal  oleh  pihak  Reformasi,
                            yakni  Soal  Kitab  Suci  dan  Tradisi;  Penafsiran  Kitab  Suci;  pembenaran;  jumlah  sakramen-
                            sakramen; kurban misa, imamat dan tahbisan; pembedaan imam dan awam.
                        Konsili Trente dan sesudahnya menekankan Gereja sebagai:
                        a)  Penjaga iman yang benar dan utuh, ditandai dengan sakramen-sakramen. Khususnya ekaristi
                            yang dimengerti serta dirayakan sebagai kurban sejati.
                        b)  Gereja  bercorak  hierarkis  yang  dilengkapi  dengan  jabatan-jabatan  gerejani  dan  imamat  yang
                            berwenang khususdalam hal merayakan ekaristi, melayani pengakuan dosa.
                        c)  Gereja adalah kelihatan dan ini menjadi jelas dalam lembaga kepausan sebagai puncaknya.
                        d)  Gereja  mewujudkan  diri  sebagai  persekutuanpara  kudus  lewat  penghormatan  pada  mereka
                            (para kudus); Gereja menghormati Tradisi.
                    b.  Usaha untuk bersatu antar-Sesama Gereja Kristus
                        Berkaitan dengan upaya Gereja Katolik untuk mempersatukan umat Kristus, Konsili vatikan II dalam
                        Dekritnya tentang Ekumenisme” UN. Art.4.
                        Gerakan Ekumene ialah: kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha untuk menanggapi bermacam-macam
                        kebutuhan Gereja dan berbagai situasi dalam rangka mendukung kesatuan umat Kristen. Cara untuk
                        mencapai tujuan ekumene adalah:
                        1)  Berupaya untuk menghindari kata-kata, penilaian-penilaian, dan tindakan-tindakan yang ditinjau
                            dari sudut keadilan dan kebenaran tidak cocok dengan situasi saudara-saudari yang terpisah,
                            dan karena itu mempersukar hubungan-hubungan dengan mereka.
                        2)  Pertemuan-pertemuan umat Kristen dari berbagai Gereja atau Jemaat diselenggarakan dalam
                            suasana religius, “dialog” antara para pakar yang kaya informasi, yang memberi ruang kepada
                            setiap peserta untuk secara lebih mendalam menguraikan ajaran persekutuannya, dan dengan
                            jelas  menyajikan  corak  cirinya.  Melalui  dialog  semacam  itu,  semua  peserta  memperoleh
                            pengertian  yang  lebih  cermat  tentang  ajaran  dan  peri-hidup  kedua  persekutuan,serta
                            penghargaan yang lebih sesuai dengan kenyataan.
                        3)  Persekutuan-persekutuan  menggalang  kerja  sama  yang  lingkupnya  lebih  luas  dalam  aneka
                            usaha  demi  kesejahteraan  umum  menurut  tuntutan  setiap  suara  hati  Kristen;  bila  mungkin,
                            mereka bertemu dalam doa sehati sejiwa. Akhirnya, mereka semua mengadakan pemeriksaan
                            batin tentang kesetiaan mereka terhadap kehendak Kristus mengenai Gereja, dan menjalankan
                            dengan tekun usaha pembaharuan dan perombakan.


                                                                                                         7
   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12