Page 166 - Kelas XII Bahasa Indonesia BS press
P. 166

Ia menegaskan, ’’Teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan,
            melainkan suatu tontonan.’’ Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk
            bagaimana harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara
            lain menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya tanpa protes,
            tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan tangkas, kadang
            meletup, diseling humor. Mungkin ini cerminan pribadinya. Individualitasnya
            kuat, dan berdisiplin tinggi.
                Saat ditanya pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang cerita 30
            halaman, menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis menulis.
            Putu menjawab, ’’Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,’’ katanya,
            ’’bahkan kalau bisa tanpa diketahui.’’ Kesenian diibaratkannya seperti baskom,
            penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi, problematik,
            lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak. ’’Kesenian,’’ katanya,
            ’’merupakan salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan
            kepada manusia lain secara tuntas.’’
                ”Saya sangat percaya pada insting,” kata Putu tentang caranya menulis.
            ”Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu
            saja ketika di depan komputer,” katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi
            dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu
            bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan.

                Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara
            film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya
            ialah film ”Cas Cis Cus”, ”Zig Zag”, dan ”Plong”. Sinetron yang disutradarainya
            ialah ”Dukun Palsu”, ”PAS”, ”None”, ”Warteg”, dan ”Jari-Jari”. Skenario yang
            ditulisnya ialah ”Perawan Desa”, ”Kembang Kertas”, serta ”Ramadhan” dan
            ”Ramona”. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
                Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny
            Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. Namun, pada tahun
            1984 ia menyendiri kembali. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda,
            Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya
            selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama setahun.
                Atas undangan Fulbright, 1985–1988, ia menjadi dosen tamu teater dan
            sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois,
            AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang,
            1992. Setelah lama berikhtiar, walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak
            bakal punya anak lagi. Pada 1996 pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.

                Rumah tangga baginya sebuah ”perusahaan”. Apa pun diputuskan
            berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal



            160  Kelas XII                                              Bahasa Indonesia
   161   162   163   164   165   166   167   168   169   170   171