Page 25 - MONITORING ISU 15-19 Agustus 2022
P. 25
Isu Tabrakan Kebijakan
4. PLTS Atap dan EBT
Kronologis 1.
(4/8) Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto berpendapat PLN tidak
boleh menggunakan alasan oversupply dalam pembatasan PLTS, sudah
seharusnya PLN mengambil kebijakan lebih dalam untuk mengurangi
kelebihan stok energi fosil. Menurutnya, PLTU yang polutif dan tidak efisien
lebih baik ditutup. Bahkan menurutnya justeru PLTS Atap harus ada insentif,
kalau batu bara disubsidi (dengan DPO), apalagi PLTS yang ramah
lingkungan mestinya harus disubsidi, bukan sebaliknya seperti sekarang.
(10/8) Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro menyebut,
kebijakan tersebut diambil dengan alasan keberlangsungan bisnis dari
perusahaan listrik pelat merah tersebut. Masuknya PLTS Atap nantinya akan
menambah biaya dari penyediaan listrik PLN. Sementara PLN saat ini
sedang over supply. Sehingga pengembangan PLTS harus disubsidi
pemerintah. Lanjutnya, bilamana pengembagan PLTS Atap dilepas secara
business to business ia memperkirakan hal tersebut tidak akan jalan.
(11/8) Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
Kementerian ESDM Dadan Kusdiana tengah mencari jalan keluar dengan
PLN. Tujuannya, agar kebijakan transisi ke energi bersih dan pembatasan
yang dilakukan PLN tak bertabrakan. Untuk menyelesaikan masalah
tersebut, Dadan mengungkap aturan teknis akan dirampungkan tahun ini
menyusul peraturan menteri terkait transisi energi dan instalasi PLTS atap
sudah dikeluarkan sebelumnya. Ia juga menyebut pihaknya telah menerima
draft terkait Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan
(EBT) dari DPR RI. Pihaknya akan menyampaikan daftar inventarisasi
masalah (DIM) paling lambat pada 27 Agustus 2022.
(11/8) Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)
Fabby Tumiwa mengatakan untuk mencapai target bauran energi
terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025, maka Indonesia perlu
menambah 14 gigawatt pembangkit energi bersih sebagai salah satu
langkah konkret menurunkan emisi karbon. Menurut dia, apabila melihat
dokumen RUPTL PLN, Indonesia hanya akan membangun 10,9 gigawatt
pembangkit energi terbarukan hingga tahun 2025. Sehingga masih ada
kekurangan tiga sampai empat gigawatt untuk mencapai bauran 23 persen.
Ia menyebut kebijakan PT PLN (Persero) terkait pembatasan pengguanan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap tidak memiliki dasar teknis.
Fabby mengatakan, motivasi daripada PLN adalah melindungi pendapatan
dan monopoli penyediaan tenaga listrik, meskipun dampak dari
pengurangan penerimaan dari 1 GigaWat (GW) PLTS Atap terhadap
penerimaan PLN sangat kecil, yaitu di bawah 0,2 persen. Lanjutnya,
pembatasan ini juga mempersulit pemerintah mencapai target bauran
energi terbarukan 23 persen pada 2025. Dengan kapasitas pembangkit
energi terbarukan saat ini yang baru mencapai 10 GW, masih diperlukan
13-14 GW pembangkit energi terbarukan hingga 2025.