Page 158 - Toponim Magelang_Final
P. 158
Toponim Kota Magelang 145
2. Jagoan
Merujuk memori kolektif masyarakat Magelang lama, dinamakan Kampung Jagoan
karena pernah ditinggali Kyai Sawunggalih yang memiliki ayam jago “ampuh”, acap
menang dalam sabung ayam (adu jago). Lokasi ini konon memang dipakai pula untuk
adu jago, wajar kalau kata “jago” begitu melekat dalam benak warga, hingga kemudian
dinamakan Kampung Jagoan. Permainan tersebut merupakan perkelahian ayam jago
yang memiliki taji dan terkMerujuk memori kolektif masyarakat Magelang lama,
dinamakan Kampung Jagoan karena pernah ditinggali Kyai Sawunggalih yang memiliki
ayam jago “ampuh”, acap menang dalam sabung ayam (adu jago). Lokasi ini konon
memang dipakai pula untuk adu jago, wajar kalau kata “jago” begitu melekat dalam benak
warga, hingga kemudian dinamakan Kampung Jagoan. Permainan tersebut merupakan
perkelahian ayam jago yang memiliki taji dan terkadang taji ayam jago ditambahkan
serta terbuat dari logam yang runcing. Rata-rata ayam yang dipertandingkan sampai
baik kabur atau hilang, bahkan sampai mati. Umumnya, permainan ini diikuti dengan
taruhan (judi).
Kisah tutur di atas rupanya punya kemiripan dengan warga Surabaya, yang mengenal
tokoh legendaris Sawunggaling yang hidup pada abad XVII. Pemuda yang semula
bernama Joko Berek ini gemar bermain adu ayam. Sebenarnya, Sawunggaling adalah
nama ayamnya. Lantaran jagonya dikenal begitu ampuh, warga lokal dengan gampang
mengganti nama Joko Berek menjadi Sawunggaling. Dicermati dari segi pelafalan,
nama Sawunggalih dan Sawunggaling pun nyaris serupa.
Warga Magelang tentu sama seperti masyarakat di Nusantara yang telinganya akrab
dengan tradisi adu jago. Fenomena ini sudah lama ada, bahkan semenjak periode
Majapahit. Saat itu memakai istilah menetak gulu ayam. Akhirnya adu jago merembet
ke Bali yang bermula dari pelarian orang-orang Majapahit, sekitar tahun 1200. Di Bali,
permainan sabung ayam disebut Tajen. Asal Tajen dari Tabuh Rah, salah satu Yadnya
(upacara) dalam masyarakat Hindu di Bali. Tujuannya mulia, yakni mengharmoniskan
hubungan manusia dengan Bhuana Agung. Yadnya ini runtutan dari upacara yang
sarananya menggunakan binatang kurban, seperti ayam, babi, itik, kerbau, dan berbagai
jenis hewan peliharaan lain. Persembahan tersebut dilakukan dengan cara nyambleh
(leher kurban dipotong setelah dimanterai). Sebelumnya pun dilakukan ngider
dan perang sata dengan perlengkapan kemiri, telur, dan kelapa. Perang sata adalah