Page 11 - ISLAM DAN AGRARIA TElaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam Dalam merombak Ketidakadilan Agraria
P. 11

menghadirkan Islamsebagai agama pembebasan yang berpihak kepada
            kepentingan kalangan yang tertindas.
                Untuk dua pertanyaan yang terakhir, kita patut lebih bertanya lebih
            jauh: “keadilan agraria” seperti apakah yang dicari dan diperjuangkan oleh
            Islam? Apa parameter material dari “keadilan agraria” itu? Pembebasan
            seperti apakah yang telah dan hendak diwujudkan Islam? Kemudian,
            siapakah kalangan tertindas yang hendak dibela oleh Islam? Apa bentuk
            konkret dari kepentingan kalangan tertindas ini yang menjadi sasaran
            perjuangan Islam?
                Sejumlah pertanyaan itu tentu di luar cakupan buku ini, yang baru
            mencukupkan diri pada penelusuran atas upaya-upaya historis umat Islam
            dalam persoalan agraria. Pembacaan historis ini pun belum sepenuhnya
            materialis, dalam arti, turut menelusuri formasi-formasi sosial dan modus
            produksi yang melatarbelakangi perjuangan agraria tersebut. Suatu
            gap yang terlihat, misalnya, dari kajian penulis atas perjuangan agraria
            dari masa Rasulullah sampai era Dinasti Abbasiyah, lalu meloncat ke
            era Indonesia modern, tanpa menelusuri formasi-formasi sosial yang
            pernah mewarnai kehidupan umat Islam dari masa ke masa (feodalisme,
            merkantilisme, kolonialisme, kapitalisme, imperialisme). Penelusuran
            ini tentu akan sangat menantang untuk dilakukan, dan mungkin akan
            menjadi kerja besar para sejarawan agraria Islam kontemporer. Seperti
            dikutip oleh Siraj Sait dan Hilary Lim dalam Land, Law and Islam (2006),
            terdapat pepatah tradisional dalam keagrariaan Islam: al-ardl taftariqu
            bi al-syibr, “Tanah itu berbeda (statusnya, sejarahnya) dari satu jengkal
            ke jengkal lain”. Artinya, terdapat heterogenitas sejarah tanah, dan
            sejarah agraria itu sendiri, yang tidak dapat direduksi—boleh jadi karena
            tumpang-tindihnya formasi sosial yang terjadi pada tanah tersebut.
                Ketiadaan jawaban ideologis umat Islam atas persoalan agraria
            itu, salah satunya, adalah karena miskinnya penelusuran historis yang
            dilakukan oleh umat Islam sendiri atas perjuangan agrarianya. Buku ini
            mengisi ruang kosong itu. Lebih-lebih di Indonesia, di mana kontribusi


             x                                           Islam dan Agraria
   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16