Page 15 - Modul_E-Cipta
P. 15

Selain  beragam  landasan  hukum  di  atas,  pemerintah  di  tingkat
                  departemen/kementerian, propinsi, dan kabupaten/kota juga banyak mengeluarkan
                  beragam landasan hukum yang terkait dengan pengelolaan lahan basah. Namun pada              14
                  dokumen Strategi Nasional ini hanya dimuat landasan hukum-landasan hukum yang
                  dikeluarkan  di  tingkat  pusat  saja,  hal  tersebut  dilakukan  atas  dasar  pertimbangan
                  fokus isu dalam strategi ini dibatasi pada isu nasional dan internasional
                         Kawasan lahan basah penting yang dilindungi oleh negara ditetapkan sebagai
                  kawasan konservasi. Hingga saat ini, dari sekitar 23 juta hektar kawasan konservasi,
                  4,7  juta  hektar  diantaranya  adalah  kawasan  lahan  basah  termasuk  perairan  laut
                  dengan  kedalaman  lebih  dari  6  meter.  Dari  keseluruhan  lahan  basah  di  Indonesia,
                  diperkirakan  hanya  sekitar  10%  yang  berada  dalam  otoritas  pemerintah  pusat;
                  antara lain berupa kawasan konservasi yang dikelola oleh Departemen Kehutanan.
                  Angka  ini  menunjukkan  bahwa  wewenang  pengelolaan  kawasan  lahan  basah  yang
                  terbesar justru berada di tangan pemangku kepentingan daerah.


               2.  Kelembagaan Pengelolaan Lahan Basah di Indonesia
                  Pengelolaan  lahan  basah  Indonesia  dilaksanakan  oleh  berbagai  pemangku
                  kepentingan.  Pemerintah  pusat  maupun  daerah,  sebagai  salah  satu  pemangku
                  kepentingan,       membagi        tanggung       jawabnya        melalui      beberapa
                  departemen/kementerian  sektoral.  Disamping  itu,  lahan  basah  juga  dikelola  oleh
                  masyarakat  setempat  dan  menjadi  bagian  dari  kehidupan  sosial-budayanya,  serta
                  oleh  pengusaha  untuk  dimanfaatkan  fungsi  dan  nilainya,  misalnya  untuk  kegiatan
                  pariwisata,  pertanian,  dan  penghasil  energi.  Sistem  pengelolaan  ini  seringkali
                  menjadi  tumpang  tindih  dan  dapat  menimbulkan  benturan  antara  satu  pemangku
                  kepentingan dengan pemangku kepentingan lainnya.
                  Perencanaan,  pengelolaan,  implementasi,  pengawasan,  dan  evaluasi  seringkali
                  dilakukan secara terpisah; masing-masing kelompok bertindak menurut kepentingan
                  kelompok sektor masing-masing. Keadaan ini menjadikan pengelolaan lahan  basah
                  menjadi  tidak  efektif  dan  menyebabkan  munculnya  kegiatan  pengelolaan  yang
                  bertentangan dengan prinsip pemanfaatan sumberdaya lahan basah secara lestari
   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20