Page 34 - Buku Jejak Imam Utomo
P. 34
Tetapi, yang terjadi kebalikannya, manusia lebih banyak berbicara ketimbang
mendengar.
Imam Utomo lebih banyak menggunakan telinganya untuk mendengar
daripada menggunakan lisannya untuk berbicara. Ia menjaga ucapannya agar
tidak menyakiti siapapun. Ia menjaga lisannya supaya tidak berjanji seenaknya
tanpa bisa menunaikannya. Ucapan seorang pemimpin adalah ‘’sabda pandita
ratu’’ yang mengandung konsekuensi dan tanggung jawab moral maupun
hukum.
Imam Utomo lahir dari lingkungan keluarga Jawa yang mencintai budaya
Jawa. Dalam keluarganya juga kental tradisi santri karena lingkungannya di
Jombang adalah lingkungan santri. Banyak orang menyebut Jombang adalah
akronim dari kata ‘’ijo’’ dan ‘’abang’’ artinya hijau dan merah. Hijau adalah simbol
religiusitas santri dan merah adalah simbol nasionalisme. Abang juga identik
dengan ‘’abangan’’, yaitu sebutan untuk orang-orang Jawa yang mempraktikkan
agama Islam secara sinkretis dengan memadukan Islam dengan mistisisme
budaya Jawa.
Ijo dan abang itu ada pada karakter Imam Utomo. Dia seorang nasionalis
tulen. Hal itu dia buktikan selama mengabdi sebagai tentara dan ketika
mengemban amanat sebagai gubernur Jawa Timur. Ia juga menjalankan agama
dengan tekun. Ia orang Jawa yang santri. Ia menyukai wayang dan keris sebagai
bagian dari upaya ngugemi dan nguri-nguri budaya Jawa, tetapi dia juga taat
menjalankan syariah agama.
Dalam konsep Jawa tujuan hidup seorang manusia adalah menuju
sangkan paraning dumadi menuju pada kesempurnaan hidup dan kembali kepada
Dzat Pemilik Kehidupan. Dumadi berasal dari kata ‘’dadi’’ (jadi) yang ditambah
dengan selipan ‘’um’’ menjadi dumadi, artinya ‘’menjadi’’. Ada proses dalam
perjalanan hidup manusia Jawa sebelum ‘’dumadi’’ menyatu dengan yang Ilahi.
Imam Utomo mengidolakan tokoh pewayangan Werkudara yang tinggi
besar, gagah perkasa, dan jujur dalam berbicara dan bersikap. Dalam lakon
‘’Dewa Ruci’’ Werkudara mengembara sampai ke dasar laut untuk mencari