Page 15 - Perjuangan Pondok Pesantren Lirboyo Dalam Peristiwa 10 November 1945 Terbaru
P. 15
Mungkin jika bukan milik Kiai Manab, kitab usang semacam itu
tidak akan laku. Tetapi karena kealiman pemiliknya, justru santri yang
mendapatkan kitab bekas itu sangat gembira sekali. Bahkan hanya
karena ingin mempunyai dua buah kitab, Kiai Manab pernah berjalan
ratusan kilometer. Ketika itu, beliau menjenguk keluarga di Magelang.
Saat menjelang kembali ke pondok, Sang Ibunda, Salamah, memberi
bekal uang sebesar lima rupiah untuk naik kereta api. Tapi, karena
beliau sangat membutuhkan kitab, uang tersebut justru digunakan
untuk membeli dua kitab, yaitu Minhajul dan Ibnu Aqil.
Demi dua kitab
tersebut, Kiai Manab bersedia melepaskan kursi kerat api diganti
berjalan kaki (Asep Bahtiar dkk, 2018: 28).
Selepas abad sembilan belas, usia Kiai Manab hampir setengah
abad. Usia yang menunjukan ilmu dan pengalaman hidup. Beberapa
pesantren pernah beliau singgahi. Misalnya, Babadan, Cempoko,
Trayang, Sono, Kedungdoro, Bangkalan, dan Tebuireng. Ini
menunjukkan bahwa Kiai Manab bukan hanya alim tapi, tapi sudah alim
allamah.
Kiai Kholil tentunya lebih tahu hal itu. Beliau merasa Manab
telah mencapai puncak dan menemukan jati dirinya. Beliau meminta
agar Manab meninggalkan Bangkalan dan segera pulang menyebarkan
ilmunya di masyarakat. Beliau merasa ilmunya telah terkuras habis.
Tetapi Manab sebenarnya masih ingin tetap di Bangkalan. Masih
merasa dahaga ilmu agama. Namun, karena sadar yang menyuruh
pulang adalah gurunya yang lebih tahu mana yang lebih baik untuk
dirinya, akhirnya Manab pulang juga meninggalkan Bangkalan dengan
rasa ikhlas. Ternyata, kepatuhan dan keikhlasan itu berbuah juga.
Sesampai di Jawa, Kiai Manab mendengar bahwa salah seorang
sahabatnya kala mondok di Madura, yakni Kiai Hasyim Asy'ari telah
tiga tahun membina sebuah pesantren di Tebuireng Jombang. Kiai
Manab yang belum lama pulang dari Bangkalan rupanya tertarik untuk
singgah di pesantren yang diasuh oleh rekan satu almamater yang ahli
dalam ilmu hadist tersebut.