Page 14 - Perjuangan Pondok Pesantren Lirboyo Dalam Peristiwa 10 November 1945 Terbaru
P. 14
Kalau pakaian satu-satunya itu dicuci, terpaksa ia harus
menunggu kering dengan berendam dalam air. Anehnya, justru saat
berendam itulah Manab menghafal Alfiyah. Ia dendangkan syair-syair
bernada rajaz itu dengan syahdu seakan tak merasakan kegetiran
hidup yang menerpanya. Bagi Manab cobaan dan ujian dalam menuntut
ilmu itu dirasakannya bukan suatu perderitaan, tapi justru kenikmatan
dari sebuah kehidupan. Ia yakin bahwa cobaan yang ditimpakan
kepada seorang muslim bukanlah adzab, tapi bukti kecintaan Allah
swt. Kepada hamba-Nya.
Sebagai seorang muslim, Manab menjalani hari-hari panjang yang
penuh penderitaan itu dengan tabah. Waktu terus bergulir, hari ke hari,
bulan ke bulan, dan tahun ke tahun. Tidak terasa sudah hampir 23
tahun Manab bermukim di Madura. Kesungguhannya dalam menuntut
ilmu telah membuat tinggi pengetahuan agamanya.Tua ilmunya seiring
dengan tuanya usia yang kala itu sudah lebih dari 40 tahun. Pribadi
telah mencerminkan sosok seorang yang alim. Figur seorang kiai.
Sehingga, wajarlah jika saat itu teman-temannya menempatkan Manab
sebagai seorang kiai. Tempat untuk bertanya, minta pendapat, bahkan
tempat berguru.
Menurut Bahtiar dkk (2018: 25-27) Mengemukakan bahwa salah
seorang kiai yang dulu pernah berguru pada Kiai Manab adalah K. Faqih
dari Patik, Brebek, Nganjuk. Apabila seseorang makin luas ilmunya,
tentu makin banyak membutuhkan bahan kajian yang lebih beragam
pula. Seperti Kiai Manab. Karena penguasaan ilmu agama yang kian
matang, beliau juga semakin membutuhkan berbagai macam kitab
untuk muthalaah. Padahal, itu bukanlah masalah mudah sebab untuk
kebutuhan sehari-hari saja jarang ada. Tapi, berkat keuletan beliau,
masalah kitab-kitab itu akhirnya dapat diatasi. Kiai Manab melakukan
barter kitab. Kitab-kitab yang telah dipahami tuntas beliau tukarkan
dengan kitab-kitab baru milik temannya. Kadang langsung beliau jual
kemudian dibelikan kitab yang baru.