Page 13 - Perjuangan Pondok Pesantren Lirboyo Dalam Peristiwa 10 November 1945 Terbaru
P. 13
Berbagai ujian, baik lahir maupun batin, mesti dijalani. Cobaan
yang kadang tidak masuk akal harus diterima. Demikian pula dengan
Manab. Ia tak luput dari berbagai ujian sang guru. Ketika Manab ingin
bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti sebelum di
Madura, dia bersama seorang sahabatnya, Abdulloh Faqih, dari Cemara
(Sekarang Kecamatan Srono), Banyuwangi, berangkat ke daerah
sekitar Banyuwangi dan Jember untuk ikut mengetam padi. Namun,
setelah bersusah-payah melakukan perjalanan yang cukup jauh,
sesampai di Bangkalan terjadilah hal yang mengejutkan. Ternyata, Kiai
Kholil menghendaki padi hasil kerja Manab itu untuk makanan
ternaknya. Rupanya, Kiai Kholil tidak mengizinkan Manab bekerja.
Sebagai gantinya, ia disuruh memetik daun pace yang tumbuh disekitar
pondok untuk makanan sehari-hari.
Kecewakah Manab? Tidak. Sedikit pun beliau tidak kecewa.
Bukan pemuda Manab jika tidak kuat menghadapi ujian itu. Perintah
Sang Kiai untuk makan daun pace rebus itu dijalaninya dengan tabah.
Bahkan, sering pula ia harus makan sisa kerak nasi teman-temannya
atau kadang ampas kelapa. Tetapi, semua itu tidak pernah ia keluhkan.
Bertahun-tahun ia melakukan tirakat ini. Jarang orang yang tahu.
Karena ketabahan Manab yang mengagumkan inilah pernah terjadi hal
yang cukup tragis.
Di bulan suci ramadhan, kala Manab sedang mengikuti pengajian
tafsir Jalalain, dia jatuh pingsan. Mengapa itu sampai terjadi pada
Manab? Semula dikira hanya kepanasan lantaran panas matahari
waktu itu memang begitu menyangat, sedang Manab tidak
mendapatkan tempat yang teduh karena sedikit terlambat. Tapi
setelah diselidiki, ternyata beliau terlalu lapar. Sewaktu berbuka
mungkin ia tidak menyantap makanan. Bahkan, ketika sahur, ia juga
tidak menemukan sesuatu untuk mengganjal perut. Dalam berpakaian
pun keprihatinan Manab membuat orang lain terenyuh. Beliau hanya
mempunyai sepotong pakaian yang melekat pada tubuhnya.