Page 378 - My FlipBook
P. 378

Bagian Kempat



                                        275
            adalah proses penduniawian.

                    Sedangkan  Nurcholish  menjelaskan  tentang  ini,  dengan  menyatakan,
            pembedaan  antara  “sekularisasi”  dan  “sekularisme”  semakin  jelas  jika
            dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang
            Muslim  harus  bersikap  rasional,  tetapi  tidak  boleh  menjadi  pendukung
            rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan
            penilaian  yang  tepat  tentang  suatu  masalah  dan  pemecahannya.  Rasionalisasi
            adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi
            tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan
            saja  mungkin,  bahkan  telah  terjadi  dan  terus  akan  terjadi  dalam  sejarah.
            Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi.
            Pembatasan  dan  koreksi  itu  diberikan  oleh  kepercayaan  akan  adanya  Hari
            Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat
            beragama, khususnya ummat Islam.   276

                    Tulisan  ringkas  Nurcholish  dalam “Beberapa  Catatan  Sekitar  Masalah
            Pembaruan Pemikiran Dalam Islam,” (6 lembar) tampaknya ingin menegaskan 2
            hal. Pertama, secara etimologi, kata “sekular” bukan saja sah, tetapi memang harus
            digunakan. Kedua, Nurcholish menegaskan kembali perbedaan antara sekularisasi
            dan sekularisme. Dalam artikel tersebut, nama Harvey Cox disebut untuk pertama
            kalinya.


                    Sebenarnya,  upaya  Nurcholish  untuk  menjustifikasi  penggunaan  kata
            sekular tampaknya malah mengaburkan persoalan. Sebabnya, “matter of conflict”
            dalam gagasan sekular bukanlah sekedar persoalan bahasa an sich, tetapi justru
            dalam  persoalan  terminologis.  Ahmad  Wahib  saat  itu  menyadari  kekeliruan
            Nurcholish.  Dalam  Catatan  Hariannya,  Ahmad  Wahib  menyatakan  “Adalah
            kurang  terus  terang  bila  Nurcholish  mengartikan  secular  semata-mata  dengan
            dunia atau masa kini dan sekedar mengatakan bahwa semua yang ada kini dan di
            sini adalah hal-hal sekular: nilai sekular, masyarakat sekular, orang sekular dan
            lain-lain. Sekular sebagai suatu sifat – misalnya mengenai suatu masyarakat yang
            menjadi  tujuan  proses  sekularisasi  yaitu  masyarakat  sekular-tidak  saja  harus
            didekati dari segi etimologi, tapi lebih penting lagi dari segi terminologi. Dalam


            275  Nurcholish Madjid, Keindonesiaan, 217-218.
            276  Ibid., 219-220.



            366
   373   374   375   376   377   378   379   380   381   382   383